SATUHARAPAN.COM - Injil benar-benar kabar baik bagi orang Toraja. Kabar kesukaan itu, bukan saja mendatangkan berita keselamatan, tetapi juga mendatangkan secara nyata pembebasan bagi masa kelam daerah Toraja dan masyarakatnya, terutama melalui pendidikan yang dibawa oleh Indischekerk (Gereja Protestan) dan Zending Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Belanda. Sebelumnya, menurut berbagai catatan, sering terjadi perang antarkampung. Toraja sendiri bukanlah sebuah kerajaan tetapi memiliki sistem kekuasaan sendiri dalam sebuah masyarakat kampung atau wilayah.
Di Semba, Buakayu, Kabupaten Tana Toraja, Indischekerk membangun sebuah sekolah yang kemudian diserahkan kepada GZB untuk dikelola. Di sekolah itu Joesoef Tappi' belajar. Ayahnya, N' Mane', seorang To minaa (pemimpin spiritual agama suku), sendiri yang mengantarnya, sebagai bukti bahwa orang tuanya sangat mendukung pendidikan dan perubahan.
Joesoef Tappi' yang dilahirkan pada 1903, pernah berjumpa dengan Pdt A.A. Van de Loosdrecht ketika mengunjungi sekolah tersebut pada Agustus 1915. Hal itu menjadi pemberi energi positif dalam pelayanan selanjutnya yang ia geluti.
Jadi Guru
Joesoef Tappi' kemudian dikenal sebagai guru, guru Injil, dan guru jemaat GZB berkebangsaan Indonesia yang bekerja di medan pekabaran injil GZB. Ia adalah ahli bahasa To minaa, bahasa sastra tinggi dalam bahasa Toraja. Diangkat menjadi guru pada 1923, mula-mula ia ditempatkan di Simbuang, di pedalaman Toraja, sebelum pindah ke Semba, tempatnya mendapat pendidikan pertama. Dari Semba, ia pindah ke Rembon, Kasimpo.
Joesoef Tappi' diangkat menjadi guru Injil pada 1928. Sebagai anak seorang pemimpin spiritual, sejak kecil ia sudah memahami adat dan budaya Toraja. Sejak kecil pula ia dikenal baik oleh zending. Hal itulah yang mungkin menjadi alasan kuat bagi GZB untuk mengangkatnya menjadi guru Injil yang ditempatkan di Pantilang, daerah yang amat bergumul soal adat dan budaya dalam kaitan dengan iman Kristen.
Pada 1930, atas permintaannya sendiri, ia dipindahkan ke Rembon. Kemampuannya sebagai seorang yang banyak memahami adat dan budaya Toraja, sangat membantu ketika diangkat menjadi sekretaris (notulensi) dalam bahasa Toraja, pada berbagai pertemuan membicarakan mengenai aluk, adat, dan Injil pada 5-6 September 1928 di Angin-angin, yang diikuti para zending dan tokoh-tokoh adat Toraja waktu itu.
Menjadi Pendeta
Dalam kondisi yang cukup sulit waktu itu, Pdt. D.J. Van Dijk meminta jawaban secara tertulis kesediaannya untuk diurapi menjadi pendeta dengan segala tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan jabatan kependetaan. Ia tidak segera memberi jawaban dalam suratnya tertanggal 1 Mei 1941. Ia menuliskan tidak mau terburu-buru menerima jabatan itu, apalagi dalam menjalankan kedua sakramen dan dalam menyebut nama Tuhan. "Tetapi mengingat salib Kristus untuk dosa saya, maka saya memberanikan diri berdiri di depan jemaat, bukan dari diri saya tetapi dari Tuhan yang telah datang ke dalam dunia sebagai raja. Sambil juga mengingat tentang apa yang berlaku bagi Paulus, yaitu 'Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan'."
Berdasarkan surat jawaban itu, pada 26 Oktober 1941, Joesoef Tappi', S.T. Lande, dan P. Sangka Palisungan, ditahbiskan menjadi pendeta di Jemaat Rantepao oleh Pdt. D.J. Van Dijk. Pdt. Joesoef Tappi' kemudian ditempatkan di Resort Makale-Sangalla'.
Mengambil Alih Kepemimpinan
Dalam masa pendudukan tentara Jepang, karena para zending ditawan, kepemimpinan diambil alih oleh pendeta pribumi. Dalam kondisi demikian, para pendeta yang diurapi oleh zending membentuk Koempoelan Pendeta-Pendeta. Dalam kepengurusan, Pdt. S.T. Lande bertindak sebagai ketua, Pdt. Joesoef Tappi' menjadi sekretaris, Pdt. P. Sangka Palisungan menjabat bendahara, dan Pdt. J. Soemboeng serta F. Ba'siang menjadi komisaris. Mereka melanjutkan pelayanan yang selama ini dilakukan oleh GZB.
Dalam masa pendudukan Jepang itu, Pdt. Joesoef Tappi' dipindahkan ke Masamba.
Mati Syahid
Dalam sejarah pekabaran Injil, pendeta yang pertama mati syahid adalah Van de Loosdrecht, yang dibunuh pada 1917. Kemudian orang kedua yang mati syahid adalah Pdt. Joesoef Tappi, pendeta pribumi pertama yang mati syahid.
Pdt. Tappi' diambil dari rumahnya, untuk dibawa ke Kota Masamba. Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan di Kampung Tareo bersama sekitar 40 orang Kristen lainnya. Mereka disekap di dalam lubang perlindungan yang dibuat tentara Jepang. Dalam keadaan seperti itu, setiap hari mereka tak pernah lupa bernyanyi-nyanyi dan berdoa, bahkan terkadang melaksanakan kebaktian rohani. Mendekati hari eksekusi, pengawal menanyakan apakah mereka sudah siap menghadapi eksekusi jika tidak mau mengubah imannya. Mereka menjawab, "Meskipun badan kami masih di sini, tetapi jiwa sudah bersama Kristus, di atas!"
Eksekusi dilangsungkan di suatu bukit. Algojo menebas tahanan dengan samurai. Tidak lama kemudian, keluarga dan anak-anak diminta mengungsi ke hutan di sekitar Kampung Mariri, bersama-sama banyak keluarga, orang-orang Kristen lainnya, termasuk keluarga guru Injil Baso. Tempat pengungsian pertama terletak di pinggir hutan di dekat Kampung Mariri. Satu bulan kemudian, mereka disuruh pindah lebih jauh lagi masuk ke dalam hutan.
Pada hari ketujuh, menurut rencana semua pengungsi akan dihabisi. Namun, pertolongan Tuhan datang. Pada pagi hari petugas keamanan di bawah pimpinan Sersan S. Patioran datang menjemput Keluarga Baso dan Keluarga Pdt. Joesoef Tappi' atas petunjuk dan laporan dari seorang bekas anak asuh guru Injil Baso. Mereka dibawa ke Kota Masamba dan dikembalikan ke Tana Toraja.
Pdt. Joesoef Tappi yang terbunuh pada Januari 1946 di Mariri, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, tercatat sebagai pendeta Toraja pertama yang mati syahid setelah Perang Dunia II berakhir. Jenazahnya dikenali dari cincin nikah yang dipakainya. Jenazah kemudian diambil keluarga dari Buakayu dan kemudian dikuburkan di Sawa, Buakayu, di tempat kelahirannya.
Yang lebih meyakinkan adalah uji darah. Saudaranya yang datang menjemput tulang belulangnya, kemudian meneteskan darahnya ke tulang itu, dan darah itu bereaksi dengan tulang tersebut. Rupanya begitulah caranya masyarakat Toraja zaman dahulu kalau untuk mengetes DNA seseorang.
Judul: Joesoef Tappi' (1903-1946) Menjawab Panggilan
Penulis: Pdt. A.J. Anggui dkk.
Editor: Markus Rani
Tebal: 243.
Penerbit: Lolo
Editor : Sotyati