Ribut Cawapres dan Visi Jokowi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia (PDIP), Joko Widodo sampai hari ini (26/4) belum juga menentukan calon wakilnya. Karena dianggap paling berpeluang menang, ketidakjelasan ini membuat berbagai pihak gerah.
Pengamat politik dari LIPI Prof Siti Zuhro berpendapat, Akbar Tandjung berpeluang menjadi cawapres mendampingi capres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Joko Widodo.
“Dari empat nama yang disebut Tjahjo, dua nama mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla, menurut saya yang akan bersaing kuat. Tapi, dari rekam jejak dan pengaruh basis dukungan, Akbar lebih unggul ketimbang JK,” ujar Siti Zuhro ketika ditanya soal pendamping Joko Widodo (Jokowi) seperti diungkapkan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo, Sabtu (26/4).
Pernyataan Tjahjo Kumolo mengenai adanya tiga skenario cawapres pendamping Jokowi makin memperjelas peta figur cawapres yang akan dipilih Ketua Umum Megawati dan Jokowi, yaitu Jusuf Kalla (JK) Ryamizard Ryacudu, Mahfud MD serta Akbar Tandjung.
Tjahjo di kediaman Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat mengungkapkan dari sejumlah nama yang masuk sebagai bakal cawapres, semuanya dibagi menjadi masing-masing dua skenario.
Pada skenario pertama, ada nama mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Untuk skenario kedua, ada nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan politisi senior Partai Golkar, Akbar Tandjung.
Namun Tjahjo tidak menyebutkan tentang skenario ketiga. Ia mengatakan bahwa figurnya dapat berasal dari kalangan sipil dan militer atau kalangan internal. “Yang penting mencari dengan cermat, tidak asal comot,” ujarnya.
Siti menjelaskan, PDIP sangat berkepentingan memilih cawapres pendamping Jokowi adalah figur yang bukan saja memiliki elektabilitas dan dukungan logistik untuk memuluskan kemenangan dalam pilres Juli mendatang. Tetapi juga bagaimana pemerintahan yang dibentuk nanti efektif.
“Dalam memilih beberapa nama cawapres yang sudah diungkap itu, dua nama punya kans besar, yakni Akbar dan JK,” katanya.
Nama JK sangat populer dan sempat disebut yang paling mungkin. Tapi JK, kata Siti, punya kelemahan pada basis dukungan Golkar yang kurang kuat.
Sedangkan pesaingnya, Akbar Tandjung yang secara resmi baru disebut oleh elit PDIP ini, memiliki hubungan yang dekat dengan Megawati. Kekuatan Akbar ada pada ketokohan, basis dukungan Golkar, ditambah jaringan HMI, kelompok Cipayung dan umat Islam.
Menurut dia, akar rumput Akbar sangat kuat. “Jika Akbar yang dipilih, Jokowi dan PDIP tidak akan kekurangan logistik. Donatur yang akan membantu pasangan Jokowi-Akbar pasti akan besar,” katanya.
Perihal Mahfud, Siti menyatakan apresiasinya karena ketokohan dan kredibilitas Mahfud dalam bidang hukum juga kuat. Tetapi sayangnya, PKB akan merepotkan PDIP dan Jokowi karena Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar terus bermanuver dan belum menentukan calon dari PKB.
Jadi, kata Siti, Akbar dan JK kini bersaing merebut simpati dan dukungan untuk mendampingi Jokowi.
Nasdem Tak Paksakan
Partai NasDem tidak mensyaratkan secara resmi nama Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden dalam membangun kesepakatan koalisi dengan PDI Perjuangan.
“Dalam kesepakatan koalisi antara Partai NasDem dan PDI Perjuangan tidak ada tertulis nama Pak Jusuf Kalla menjadi persyaratan untuk diusung sebagai cawapres,” kata Ketua DPP Partai NasDem, Zulfan Lindan, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, komunikasi antara Partai NasDem dan PDI Perjuangan dalam membangun kesepakatan koalisi adalah ingin bersama-sama membangun bangsa dan negara yang berpihak kepada rakyat.
Dalam kesepakatan koalisi, kata dia, Partai NasDem tidak mensyaratkan nama siapa pun sebagai cawapres, karena komitmennya ingin membangun bangsa dan negara.
“Jika Partai NasDem mengajukan syarat cawapres, tentunya akan mengajukan nama ketua umumnya, Pak Surya Paloh, sebagai cawapres,” katanya.
Ia menambahkan, koalisi PDI Perjuangan dan Partai NasDem, masih terbuka peluang bagi figur cawapres yang memiliki kapabilitas, kredibilitas, dan integritas tinggi.
Caleg Partai NasDem untuk DPR RI dari daerah pemilihan Aceh II ini menambahkan, penentuan figur cawapres untuk mendampingi Joko Widodo atau Jokowi merupakan kewenangan PDI Perjuangan.
“Namun sebagai usulan dan masukan, bisa saja mengusulkan beberapa nama yang layak untuk diusulkan” katanya.
Zulfan melihat, dari beberapa nama tokoh yang sering tampil di media massa, ada beberapa nama yang layak diusulkan sebagai cawapres untuk Jokowi, yakni pakar ekonomi Rizal Ramli, Ketua KPK Abraham Samad, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashsiddiqie.
Ia menjelaskan, Jokowi yang memiliki pengalaman birokrasi sebagai wali kota dan gubernur perlu didampingi wakilnya yang memiliki pengalaman dan wawasan di bidang ekonomi atau hukum.
“Tantangan bangsa Indonesia ke depan adalah membangun ekonomi dan menegakkan supremasi hukum,” katanya.
Zulfan yang menilai, Rizal Ramli yang cukup dekat dengan almarhum KH Abdurrahman Wahid dan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri lebih memiliki kesamaan konsep dan program jika dipilih untuk mendampingi Jokowi.
Terlalu Tergantung Partai
Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, mengatakan calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo yang belum mengumumkan visi dan misinya menimbulkan kesan bahwa dia terlalu bergantung pada partai.
“Jokowi seharusnya menjadi penentu rumusan pembangunan ke depan. Jangan PDIP yang merumuskan dan menyusunnya. Karena kalau nanti Jokowi jadi Presiden, kan bukan untuk PDIP, tapi bagi seluruh masyarakat Indonesia,” ujar Emrus Sihombing kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, Jokowi seharusnya menyampaikan program dan visi misi ke depan. Jangan sampai disetir oleh partai dan Megawati.
“PDIP atau partai hanya bisa membantu, bukan ikut-ikutan bikin rumusan,” kata dia.
Ia mengutarakan sebenarnya saat ini sudah terlambat bagi mantan Wali Kota Solo tersebut untuk menyampaikan visi misi kepada masyarakat. Seharusnya merilis visi misi sewaktu pengumuman pengusungan Jokowi dan pemilu legislatif kemarin.
“Kalau sekarang, yah sudah terlambat,” ujar dia.
Ia berpendapat slogan PDIP “Indonesia Hebat” belum mencapai tataran operasional. Hal tersebut menunjukkan kelemahan tim PDIP dan Megawati dalam menyusun program.
Sebelumnya, pakar komunikasi politik asal Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan perdebatan calon presiden dari partai politik mana pun seharusnya sudah masuk dalam tataran konten dan visi-misi bukan lagi pola komunikasi politik.
“Gaya komunikasi ala Jokowi yang menyambangi rakyat, jabat tangan kemudian foto-foto bukan lagi saatnya tapi penyampaian visi-misi,” ujar Hendri Satrio di Jakarta, Kamis (24/4).
Menurut dia, capres yang memang sudah ditetapkan oleh partai sebaiknya menyampaikan visi dan misi dalam setiap kesempatan agar rakyat mengetahui apa yang dilakukannya saat terpilih.
“Sah-sah saja capres itu bergerak sendiri-sendiri, seperti Prabowo Subianto yang kalem, itu agar menunjukkan ahli strategi. Komunikasi PDI P itu lebih bagus karena Jokowi sering bersama dengan komponen partai,” kata dia. (Ant)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...