Sidang WCC: 12 Isu Publik
BUSAN, SATUHARAPAN.COM Menjelang berakhirnya Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja se-Dunia (World Council of Churches / WCC) di Busan, Korea Selatan, ada 12 isu publik yang diterima oleh peserta Sidang Raya untuk menjadi isu-isu utama.
Seperti dilaporkan Trisno S. Sutanto, wartawan satuharapan.com dari Busan, ke-12 isu itu mencakup: politisasi agama dan hak-hak kelompok agama minoritas; HAM bagi masyarakat tanpa-negara (stateless people); reunifikasi semenanjung Korea; jalan keadilan-perdamaian; catatan tentang situasi di Republik Demokratik Kongo; kehadiran umat Kristen di Timur Tengah; catatan tentang peringatan 100 tahun genosida di Armenia; situasi kritis sekarang di Abeyi Sudan Selatan; menuju ke arah dunia yang bebas nuklir; catatan tentang masyarakat asli (indigenous peoples); catatan tentang keadilan iklim; dan akhirnya resolusi tentang hubungan Amerika-Kuba. Dari 12 isu publik yang diangkat, WCC mengeluarkan tujuh pernyataan, satu resolusi, dan empat catatan kepada Sekjen untuk ditindaklanjuti.
12 Isu publik itu hasil kerja keras dari komite isu-isu publik yang harus menyeleksi puluhan usulan mengenai isu-isu publik yang perlu diperhatikan. Ada cukup banyak usulan isu yang ditolak karena tidak memenuhi kriteria atau sudah dirujuk oleh komite lain, misalnya isu yang menyangkut kelompok minoritas seksual maupun usulan untuk mengeluarkan pernyataan mengenai kelompok Dalit Kristen dan Muslim di India.
Salah satu usulan isu yang ditolak karena tidak memenuhi kriteria memadai adalah usulan agar WCC mengeluarkan pernyataan resmi mengenai kondisi di Papua. Menurut Pdt. Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), alasan utama penolakan itu karena WCC pernah mengeluarkan pernyataan publik Mei lalu. Tidak mungkin WCC mengeluarkan pernyataan tentang isu yang sama dua kali, kecuali posisi mereka mengenai isu tersebut berubah, ujar Gomar Gultom. Jadi posisi WCC mengenai Papua masih seperti pernyataan sebelumnya.
Isu utama yang khususnya menjadi keprihatinan gereja-gereja di Indonesia, yakni masalah politisasi agama dan hak-hak kelompok agama minoritas, mendapat perhatian banyak dari WCC. Di dalam pernyataan mengenai politisasi agama dan hak-hak kelompok agama minoritas, WCC kembali menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang inheren dan tak tergantikan.
Mereka menyuarakan keprihatinan mengenai politisasi agama dan pengagamaan (religionization) politik di berbagai negara Afrika yang makin menyuburkan kebencian, kekerasan komunal dan menyebabkan instabilitas politik. Kelompok-kelompok ekstrim agama dan partai-partai politik bertanggungjawab karena telah menciptakan situasi seperti itu. Nigeria Utara, Tanzania, Sudan, Indonesia, Srilanka, Myanmar dan lainnya adalah contoh bagaimana kekerasan dan penyebaran kebencian atas nama agama terus terjadi sampai sekarang, begitu ditegaskan dalam dokumen isu publik itu.
WCC juga menyebut kasus di Malaysia, yakni saat sebagian kelompok Muslim di sana tidak setuju jika umat Kristen menggunakan istilah Allah. Menurut WCC, hal ini hanya akan makin memperuncing kebencian dan ketegangan antar-agama, dan partai-partai politik pro-pemerintah harus bertanggungjawab karena sudah memperbesar konroversi ini.
Dalam pernyataan itu, WCC menyuarakan keprihatinan mendalam pada kecenderungan meningkatnya gejala politisasi agama dan pengagamaan politik. WCC juga mendorong pemerintah agar memperkuat mekanisme perlindungan yang sudah ada, serta membuat peraturan guna melindungi hak-hak kelompok agama minoritas di negara masing-masing.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...