Teolog: Suara Kemarin Sangkakala Kiamat? Malah Mengganggu
SATUHARAPAN.COM – Teolog dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Joas Adiprasetya, mengomentari fenomena alam yang diklaim sebagai “sangkakala malaikat di akhir zaman”. Ia menegaskan bahwa teologi akhir zaman yang sehat harus berdampingan dengan teologi keseharian.
Dalam akun Facebooknya, Kamis (3/6) ia menulis, “Jika benar suara langit itu tanda sangkakala malaikat di akhir zaman, betapa mengecewakannya. Dan saya harus mendengarnya dalam keabadian? So annoying and painful—mengganggu dan menyakitkan telinga. Saya mengharapkan lebih dari itu, yaitu gabungan antara Mozart, Beatles, Iwan Fals, dan Kenny G.”
Mei lalu media-media di Indonesia—juga di berbagai belahan dunia—memberitakan fenomena suara misterius yang biasa disebut Hum ini. Sumbernya, unggahan di situs berbagi video, YouTube.
Ada yang menduga itu adalah tanda-tanda kiamat atau akhir zaman. Yang lain menduga itu adalah suara dari makhluk luar angkasa. Bahkan, pemimpin sekte Lia Eden—Lia Aminuddin—sampai-sampai menulis surat kepada Presiden Jokowi supaya mengizinkan “alien” untuk mendarat di Monas.
Joas menyoroti, percakapan mengenai akhir zaman selalu muncul setiap kali ada fenomena alam atau sosial tertentu. Tak bosan-bosannya orang memanfaatkannya untuk kepuasan rasa-beragama mereka. Tidak ada yang salah dengan ini, apalagi jika imajinasi mendapat tempat, kecuali jika desain akhir zaman tersebut tidak memberi kemaslahatan bagi hidup bersama di dunia.
Ia mengomentari, “Jika benar suara langit itu tanda sangkakala malaikat di akhir zaman, betapa mengecewakannya. Dan saya harus mendengarnya dalam keabadian? So annoying and painful. Saya mengharapkan lebih dari itu, yaitu gabungan antara Mozart, Beatles, Iwan Fals, dan Kenny G.”
Ia menyarankan, “Dan sebagai tip kecil: Setiap kali ada yang mendaku mampu memastikan akhir zaman, yakinkan diri Anda untuk tidak mempercayainya, sebab seandainya pun Tuhan memang tadinya berencana untuk mengakhiri zaman ini seperti yang diduga oleh orang tersebut, pastilah Ia menunda, sebab Kristus sendiri bersabda bahwa tak seorang pun yang mengetahuinya. Dan kalau ada yang mengetahuinya, pasti tidak akan jadi ... karena lantas ucapan Kristus jadi tak berarti. Jadi, kalau Anda tidak mau akhir zaman, bikin saja nubuat setiap hari.”
“Seandainya pun bumi bundar kita ini hancur lebur, tak berarti zaman dan semesta berakhir, sebab bumi ini hanyalah sebutir pasir kecil di telaga semesta yang masih terus mengembang. Setiap detik sesungguhnya senantiasa berlangsung kiamat bagi planet-planet penghuni semesta ini. Alam ini terlalu besar untuk direpresentasikan oleh bumi ... Dan Allah jauh lebih besar lagi.”
Kedatangan Kedua Yesus
Pendeta GKI Pondok Indah menjelaskan bahwa Alkitab tidak pernah memakai istilah “kedatangan yang kedua kali” (second coming), seolah-olah Kristus dulu datang, kini tidak datang, dan kelak barulah datang kembali. Kedatangan Kristus lantas dipahami secara numerik. Alkitab, sebaliknya, memakai istilah “kembali” (return). Di dalam Roh Kudus Kristus hadir dan datang dan kembali senantiasa. Ia adalah Sang Datang atau Sang Kembali.
“Dalam imajinasi Langit dan Bumi Baru di dalam Wahyu 21, ada ayat yang sangat menohok, yaitu ayat 22, ‘Dan aku tidak melihat Bait Suci di dalamnya; sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu.’ Sungguh, saat segala sesuatu dipulihkan, kita akan mendapati sebuah kota baru tanpa rumah ibadat, ‘a city without the church’. Makanya tidak usah lebay bergereja ... lebih baik bergairah membangun peradaban.”
“Di dalam Wahyu 21 juga muncul imajinasi kelak-di-sini (hic et tunc), yaitu bahwa realitas baru itu ‘turun dari surga, dari Allah’ (ay. 2). Maka, penyesatan terbesar adalah ketika umat diajak memasuki masa depan di sana (illic et tunc). Selisih jalan antara manusia (yang ke atas) dan Kristus (yang ke bawah) adalah definisi lain dari ketidakselamatan. Maka ironisnya, sementara kita membayangkan kita selamat karena masuk surga, justru setepatnya itulah ketidakselamatan, sebab kita tidak bertemu dengan Sang Penyelamat yang justru menjumpai mereka yang tertinggal (Left Behind).”
“Dalam imajinasi Wahyu 22, akhir zaman ditandai oleh pembaruan segala sesuatu. ‘Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!’ (ay. 5). Segala sesuatu menunjuk pada semua yang sudah diciptakan. Allah tidak akan menciptakan (bara) sesuatu yang sama sekali lain, namun menjadikan (asa) yang sudah lama ada, yaitu segala sesuatu, menjadi baru. Jadi yang sedang dan akan muncul adalah sebuah tindakan ilahi creatio ex vetere (penciptaan dari yang lama). Anda mau menolak karya ilahi ini? Pergi saja ke surga sana!”
Teologi Akhir Zaman yang Sehat
Oleh karena itu, Ketua STT Jakarta ini menyarankan kepada umat, “Untuk mengetahui apakah sebuah teologi akhir zaman sungguh-sungguh sehat adalah apakah ia berdampingan erat dengan teologi keseharian. Eschatology tanpa quotidianology adalah sebuah kesesatan berpikir teologis yang menyebalkan.”
Ia mengakhirinya dengan sebuah doa, “Jika terjadi pengangkatan, ya Allah, izinkanlah aku tetap tertinggal di bumi, sebab telah Kauciptakan bumi dengan sangat baik dan indah. Dan bagaimana mungkin aku ingin pergi sementara Dikau senantiasa datang dan mendatangi ciptaan yang Dikau cintai?”
Ikuti berita kami di Facebook
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...