Tokoh Papua: Bila Pak Luhut Niat Baik Tuhan Memberkati
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Kunjungan Menkopolhukam, Luhut B. Pandjaitan, ke makam tokoh pemimpin Papua yang sangat dihormati, Theys Hiyo Eluay, di satu sisi mendatangkan pujian. Namun di sisi lain, kritik keras juga disuarakan sejumlah tokoh. Salah satunya datang dari Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP), Pendeta Socratez Sofyan Yoman.
Pendeta Socratez menyesalkan kunjungan itu justru dapat membangkitkan amarah rakyat dan bangsa Papua. Dihilangkannya ornamen bendera Bintang Kejora dari makam itu, menurut Socratez, dapat dilihat sebagai penghinaan, mengingat Theys adalah seorang tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan Papua.
"Kenapa pindahkan Bendera Bintang Kejora? Cara-cara Pak Luhut itu tidak terpuji dalam ukuran orang-orang Papua. Cara-cara itu tidak akan menyentuh hati orang Papua," kata Socratez dalam pesannya kepada satuharapan.com.
Ia juga mempertanyakan posisi Menkopolhukam ketika datang menziarahi makam Theys. Menurut dia, Theys adalah pemimpin dan pejuang Papua merdeka yang dibunuh melalui oknum pasukan elit Indonesia.
"Bagaimana pembunuh datang menyembah yang dibunuh? Ini dunia sudah terbalik atau Indonesia sudah kehilangan akal sehat?" tanya dia.
Ia menilai ziarah itu bersifat sandiwara dan bukan meghadirkan solusi. "Kapan Pak Luhut pergi kunjungi makam Arnold Ap, Kelly Kwalik, Yustinus Murip, Mako Tabuni, Willem Ondy, dan ratusan ribu kuburan rakyat Papua? Kapan Pak Luhut mengungkap pembunuh 4 siswa di Panai pada 8 Desember 2014? Kapan Pak Luhut penuhi janji di hadapan 4 pimpinan gereja Papua: Ketua Sinode GKI, Kingmi, Baptis dan Presiden GIDI untuk segera ungkap pembunuh 4 siswa di Paniai? Kalau Pak Luhut niat baik, Tuhan memberkati, tetapi bila hanya berpura-pura, Tuhan akan kutuk Pak Luhut dan kutuk Indonesia," tutur dia.
Tawarkan Dialog
Pendeta Socratez yang belum lama ini bertemu dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk membicarakan keadaan Papua, mengatakan dirinya menawarkan solusi dialog antara Indonesia dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Kata dia, pemerintah Republik Indonesia harus berdialog dengan ULMWP yang di mata dia, adalah wadah resmi perwakilan rakyat dan bangsa Papua Barat.
"Selama ini, Pemerintah Indonesia selalu menghindar untuk dialog dengan alasan banyak faksi dan kelompok perjuangan rakyat Papua sehingga sulit untuk berdialog. Sekarang rakyat Papua telah membentuk badan politik resmi dalam satu payung, yaitu ULMWP. Indonesia tdk ada alasan untuk menghindar dari dinamika dan realitas politik yang ada," kata Socratez.
ULMWP, kata dia, adalah milik resmi rakyat Papua dan bukan hanya orang-orang Papua di pengasingan. Tokoh ULMWP, kata dia, adalah tokoh kredibel yang dipilih resmi dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP) yang dibuka resmi oleh Menkopolhukam Pemerintah Republik Indonesia di Auditorium Uncen Jayapura pada 5-7 Juni 2010.
Ia masih mengingat bahwa pembicara waktu itu terdiri dari Menkopolhukam, Pangdam XVII Cenderawasih, Kapolda Papua, Uskup Jayapura, Dr. Mrg. Leo Laba Ladjar, Dr. Tonny Wanggai dan Pendeta Socratez sendiri.
Dalam KPP yang dihadiri hampir 1000 orang mewakili rakyat Papua, kata Socratez, dengan resmi terpilih Octovianus Mote, Rex Rumakiek, Benny Wenda, Leoni Tanggahma dan Dr. John Otto Ondowame sebagai juru runding rakyat dan bangsa Papua.
"Posisi sudah jelas dan orang-orang yang sama ada dalam ULMWP. Pemerintah RI dan ULMWP ada dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Jadi, keberadaan ULMWP sudah diakui resmi oleh negara-negara berdaulat, yaitu anggota MSG," ia menambahkan.
Terkait dengan pernyataan bahwa Jakarta telah mengucurkan dana raturan triliun untuk membangun Papua dan meningkatkan kesehateraan rakyatnya, Socratez berpendapat rakyat Papua tidak pernah meminta kesejahteraan seperti makan, minum dan pakaian. Rakyat dan bangsa Papua, dalam hemat dia, berjuang untuk status politik mereka dan dibebaskan dari ketidakadilan.
Menurut dia, telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan negara, terjadi pemusnahan etnis Papua dengan sistematis, termarjinalnya rakyat Papua dari tanah leluhur mereka dan perampasan tanah, hutan dan gunung yang dilakukan negara.
"Kami sebagai pihak gereja akan mendengar dan mengakui pilihan rakyat Papua karena gereja ada karena rakyat Papua. Gereja lihat, saksikan, rasakan dan alami kejahatan dan kekejaman pemerintah Indonesia yang dialami umat Tuhan di Papua.Gereja sahabat dan pelindung rakyat Papua," tutur dia.
"Aparat keamanan Indonesia membunuh umat Tuhan, kami gereja yang kuburkan dan doakan mereka. Gereja turut menderita dan warga Papua mengalami penganiayaan dari negara. Penerintah Indonesia jaga integritas dan keutuhan negara RI. Gereja menjaga integritas dan keutuhan umat manusia. Gereja tidak akan membisu dan diam kalau rakyat terus ditindas dan dibohongi," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...