Warga Rubuhkan Gereja HKI Samarinda Pakai Gergaji Mesin
SAMARINDA, SATUHARAPAN.COM - Bangunan semi permanen gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Perumahan Bukit Temindung Indah, Samarinda, dirubuhkan oleh warga sekitar pada hari Rabu (15/7) subuh, setelah sebelumnya disegel dan jalan masuk ke lokasi diportal. Bangunan diruntuhkan dengan memakai gergaji mesin sehingga rata dengan tanah.
Pendeta gereja itu, Pdt. Ebsan JT Sumanjuntak S.Th, dalam keterangannya menjawab satuharapan.com hari ini (16/7), mengatakan keputusan merubuhkan bangunan tersebut diduga diambil dalam rapat sepihak yang tidak diketahui pihak gereja, yang dihadiri Sekretaris Kota (Sekkot) Samarinda, Kapolres, Kapolsek, Danramil, Camat, Lurah dan RT setempat. Rapat itu berlangsung pada 14 Juli malam.
Di laman akun Facebooknya, Pdt Ebsan Simanjuntak mengunggah foto gereja yang telah dirubuhkan tersebut. Beberapa waktu sebelumnya, ia juga mengunggah foto-foto pihak gereja bertemu dengan pemerintah setempat untuk membicarakan solusi bagi berdirinya gereja yang mendapat penolakan dari warga.
Menurut Pdt Ebsan, gereja HKI beranggotakan 30 kepala keluarga itu berada di Perumahan Bukit Temindung Indah. Ia mengisahkan, dalam siteplan developer, perumahan Bukit Temindung Indah telah membuat beberapa lokasi fasilitas umum, termasuk fasilitas rumah ibadah.
“Masjid, posyandu, lapangan olah raga sudah dibangun di perumahan tersebut,” tulis dia, lewat pesan facebook kepada satuharapan.com.
Oleh karena itu, lanjut dia, pihak majelis HKI memohon agar pertapakan gereja tersebut dapat mereka gunakan. “Secara tertulis developer telah memberi kuasa kepada HKI. Mengingat HKI belum punya rumah ibadah di Samarinda, maka kami membangun dengan semi permanen,” tulis Pdt Ebsan.
Pdt Ebsan mengatakan pihaknya telah menginformasikan keberadaan gereja tersebut kepada ketua RT. “Walau secara tertulis kami belum mendapatkan izin dari pemerintah, namun kami telah menyiapkan sebagaimana (persyaratan) SK 2 menteri,” lanjut dia.
Pembangunan gereja tersebut secara semi permanen dimulai pada April lalu. Namun, pemerintah setempat menyegelnya dengan alasan tidak ada izin. Namun karena bangunan itu masih bersifat sementara, pihak gereja kemudian membuka kembali segel tersebut.
Pada tanggal 28 Juni, jemaat berencana beribadah di gereja dengan bangunan sederhana itu, namun pada tanggal 27 Juni pemerintah memportal dengan mengatasnamakan warga.
“Kami dipanggil di Poltabesta Samarinda dan kantor walikota. Pada tanggal 2 Juni kita rapat di kantor walikota yang dihadiri Wakil Walikota, Kesbangpol, Depag, Wakapolres, Camat, Lurah, Kapolsek, Danramil, RT, FKUB. Keputusan rapat menghentikan kegiatan,” kisah Pdt Ebsan.
Atas keputusan rapat tersebut, majelis HKI memutuskan menghentikan kegiatan sebagaimana kesepakatan. Namun, pada tanggal 14 Juli pukul 22:00, menurut Pdt Ebsan, berlangsung rapat sepihak pemerintah yang dihadiri Sekkot, Kapolres, Kapolsek, Danramil, Camat, Lurah, RT tanpa diketahui pihak gereja.
“Pada 14 Juli, pemerintah dan warga merubuhkan bangunan,” kata dia.
Pdt Ebsan yang juga melayani untuk jemaat HKI Bontang selain HKI Samarinda, mengatakan dirinya bersedia menjelaskan peristiwa ini untuk mendorong perjuangan kebebasan beribadah yang masih terganjal oleh "hukum kita yang abal-abal."
Tatkala ditanya, apa kiranya harapannya kepada pemerintah dengan terjadinya peristiwa ini, Pdt Ebsan mengatakan dirinya prihatin, khususnya di kota Samarinda, oleh begitu sulitnya membangun gereja.. Kesulitan tersebut tidak hanya dihadapi gereja HKI, tetapi juga gereja lain, seperti GPIB.
"Mengapa sih untuk berdoa saja dipersulit.. Jadi harapan kita pemerintah jangan mempersulit untuk pendirian gereja kita itu saja," kata dia.
Sejarah Gereja HKI
Gereja yang berkantor pusat di Pematang Siantar, Sumatera Utara ini memiliki jejak sejarah yang panjang. Menurut situs gereja tersebut, sejak tahun 1907 sudah ada jemaat yang dirikan oleh Reinsche Mission Gesellschaft (RMG) di Pematang Siantar yang menjadi pusat utama para misionaris RMG di Sumatera Timur. Akan tetapi, warga jemaatnya banyak yang tersebar di sekitar pinggiran kota Pematang Siantar yang jaraknya kurang lebih 4 km dari gereja itu.
Mempertimbangkan sulitnya menjangkau gereja di Pematang Siantar dengan jalan kaki, salah seorang jemaatnya, F. Sutan Malu Panggabean (yang adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipaholon tahun 1909), mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan, di wilayah Pemantang Siantar juga. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider (Missionaris RMG) di gereja Pematang Siantar.
Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian gereja dari RMG, serta penolakan mendirikan jemaat baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di Pematang Siantar, Sutan Malu merintis satu gereja baru di Pantoan yang kemudian disebut Hoeria Christen Batak (H.Ch.B).
Sebenarnya, sejak tahun 1927, F.P.Sutan Malu sudah mulai melakukan kebaktian Minggu di rumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi, baru pada tanggal 1 April 1927 ia membuat surat pemberitahuan resmi kepada pemerintahan.
Sambutan masyarakat Kristen Batak terhadap H.Ch.B di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu yang relatif singkat (8 Tahun), yaitu pada masa 1927-1930 terdapat 5 Jemaat dengan 220 kepala keluarga, dan pada masa 1931-1933 jumlahnya bertambah menjadi 47 Jemaat dan pada masa 1933-1935 jumlahnya sudah mencapai lebih dari 170 jemaat. Dari daerah Pematang Siantar dan sekitarnya, pada masa 1931-1942, Gereja HChB sudah menyebar sampai ke Deli Serdang, juga ke Tapanuli di daerah Humbang, Sipahutar, Pangaribuan, Silindung sekitarnya, Patane Porsea atau Toba Holbung sekitarnya, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sidikalang, atau Dairi sekitarnya, Tanah Alas dan sekitarnya.
Atas kesadaran perluasan misi gereja dan atas kesadaran bahwa HChB bukan hanya untuk berada di Tanah Batak saja, maka pada sinode tanggal 16-17 November 1946 nama HChB (Huria Christen Batak) diperluas menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia). Dalam sinode ini juga dipilih Voorzitter (Ketua Pucuk Pimpinan yang baru) Pdt. T.J Sitorus. Beliau inilah yang memimpin HKI sampai Juli tahun 1978 (32 Tahun).
Akan tetapi sangat disayangkan, setelah selesai sinode, ada beberapa anggota jemaat dan pendeta yang menyatakan ketidaksetujuannya pada perluasan nama ini. Mereka terpisah dari HKI dan tetap memakai nama HChB, yang kemudian diubah menjadi Gereja Batak Kristen (GKB). Baru pada tanggal 26 Agustus 1976 Sinode GKB menyatakan diri bergabung kembali dengan HKI.
Kini anggota HKI sudah tersebar di persada nusantara yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Warga jemaatnya kurang lebih 355.000 jiwa dan tersebar di 734 Jemaat, 124 Resort, dan 9 Distrik/ Daerah. Dilayani oleh 158 orang pendeta, 82 Guru Jemaat penuh waktu dan 636 orang Guru Jemaat paruh waktu, 8 bibelvrow, 4 Diakones.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...