Loading...
RELIGI
Penulis: Trisno S Sutanto 11:47 WIB | Sabtu, 28 September 2013

Yen Becik Ayo Bareng (Kalo Baik Mari Bersama)

Yen Becik Ayo Bareng (Kalo Baik Mari Bersama)
Suyudi dan cucu kesayangannya (Foto-foto: Trisno S. Sutanto)
Yen Becik Ayo Bareng (Kalo Baik Mari Bersama)
Wangsit - Panca Walika - yang diterima Ki Marto Pangarsa
Yen Becik Ayo Bareng (Kalo Baik Mari Bersama)
Tempat bermeditasi kaum penghayat
Yen Becik Ayo Bareng (Kalo Baik Mari Bersama)
Sendang Semanggi yang kini menjadi - Sendang Pancasila - Kompleks sendang yang menjadi titik temu antar-agama dan kepercayaan
Yen Becik Ayo Bareng (Kalo Baik Mari Bersama)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Saya heran, mengapa sekarang agama-agama sering tidak akur. Bukankah kita sebenarnya mencari hal yang sama, yang dulu pernah kita punya, dan sekarang harus dicari lagi entah di mana?"

Kalimat dan pertanyaan itu diucapkan begitu saja oleh Suyudi. Pensiunan Diklat Provinsi Daerah Isitimewa Yogyakarta itu sekarang mengelola warisan ayahnya, suatu padepokan kalangan penghayat di desa Sembungan, di kaki Gunung Sempu, Bantul, sembari ngemong cucu kesayangannya. Siang itu saya dan beberapa rekan mengunjunginya, mau kulo nuwun meminta izin. Di akhir November, ada rencana kami akan membuat perhelatan di situ.

"Oh, silahkan saja kalau mau datang," ujar Suyudi ramah. "Di sini memang terbuka, koq. Siapa saja boleh datang, apapun agama dan kepercayaannya. Karena sebenarnya kita mencari hal yang sama."

Ayah Suyudi, alm. Ki Marto Pangarsa, sempat ditangkap dan dijebloskan ke penjara Dai Nippon pada tahun 1944-45. Konon ia menerima "bisikan" untuk menelusuri Gunung Sempu di tahun 1940-an. Ia lalu menemukan sendang yang dinaungi pohon beringin besar, tempat ia bertirakat. Ia menjulukinya Sendang Titis.

Di sanalah ia menerima semacam "wangsit" yang dikenal sebagai Panca Walika berisi lima petuah moral sederhana, seperti jangan mengingini harta orang lain, jangan melawan pemerintah, juga mengasihi sesama, dan seterusnya. Gara-gara itu, banyak orang mulai mengikuti ajaran Ki Marto. Dan pemerintahan Dai Nippon curiga, menganggap Ki Marto sebagai salah satu gerakan "Ratu Adil" sehingga menjebloskannya ke penjara.

Sampai kini, kharisma dan ajaran Ki Marto itu masih diikuti oleh penduduk sekitar maupun desa-desa lain. Mereka bernaung di bawah paguyuban "Noto Bawono" di bawah Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK). "Kalau sekarang sih sudah tidak terlalu banyak," kata Suyudi. "Kalau dulu, bahkan Pak Harto (alm. Presiden Soeharto -- red) waktu masih Kolonel sering ke sini." Konon, baik Soeharto maupun Soedjono Hoemardhani beserta isteri masing-masing pernah “dibaptis” Ki Marto di Sendang Titis, atau kerap disebut Sendang Semanggi oleh masyarakat sekitar (http://yogyakarta.panduanwisata.com/wisata-religi/sendang-semanggi-tempat-tirakat-agar-mendapatkan-kedudukkan/).

Tetapi karena tidak punya catatan, Suyudi tak tahu persis berapa jumlah anggota paguyuban yang diwariskan Ki Marto, ayahnya. Itu sebabnya, sembari memperingati 1 Suro dalam penanggalan Jawa nanti, ia dan teman-temannya berencana membuat pertemuan besar pada tanggal 7 November di pantai Selatan. "Kami mau mengumpulkan lagi tulang-tulang yang berserakan," katanya, "ngumpulke balung misah."

Sementara itu, Sendang Semanggi kini bahkan menjadi titik temu antar-kepercayaan. Banyak orang percaya, sendang tersebut mengandung kekuatan gaib sehingga lokasinya sering menjadi tempat di mana orang dari berbagai agama dan kepercayaan melakukan ritual mereka. "Kami kini menyebutnya sendang Pancasila karena orang dari berbagai agama bisa beribadah di situ," tutur Suyudi sembari tertawa. "Orang NU bikin dzikir di situ, lalu giliran orang Katolik membuat jalan salib, kemudian kami dari penghayat bermeditasi. Tinggal digilir saja waktunya."

Semua bisa berbagi, semua bisa menikmati, tanpa perlu harus saling merendahkan, apalagi saling membenci. Mengikuti salah satu semboyan kelompok penghayat ini, "Yen becik ayo bareng". Jika bijak, mari bersama!


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home