Zuly Qodir: Aparat Tidak Tegas Menindak Aksi Intoleransi
SATUHARAPAN.COM - Dalam lima tahun terakhir, di wilayah Yogyakarta sering terjadi kekerasan dalam kehidupan beragama-keyakinan oleh pihak-pihak tertentu baik intern maupun antar agama. Seperti aksi pembubaran diskusi di kantor LKiS, pelemparan-perusakan di sebuah masjid di Ringroad utara, ancaman bom saat jelang perayaan Natal, pembubaran paksa pada orang yang sedang berziarah di pemakaman Pakualaman, pembubaran diskusi tentang Tapol di Sleman beberapa waktu lalu hingga yang terakhir penyerangan rumah pemilik penerbit Galang pers, serta penyerangan rumah ibadat di Sleman.
Adanya tindak kekerasan bernuansa multi dimensi seolah mementahkan paradigma yang selama ini terlanjur melabeli Yogyakarta sebagai city of tolerance.
Dr. Zuly Qodir sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, peneliti PSKP-UGM yang banyak berkecimpung pada permasalahan pluralisme-multikultur, resolusi konflik, penulis buku Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia (2004), "Involusi Pemekaran", Etnisitas dan Agama (monograf, 2012) mencoba menelaah pergeseran kondisi di wilayah Yogyakarta tersebut.
Satuharapan.com berkesempatan mewancarai Dr. Zuly Qodir tentang fenomena kekerasan yang terjadi di wilayah Yogyakarta baik yang bernuansa agama (inter-antar agama), etnis, serta kekerasan sosial lainnya pada Sabtu, 28 Juni 2014 di Gedung Kagama UGM.
Satuharapan.com (SH): Berbagai macam tindak kekerasan terjadi di Jogja dalam lima tahun terakhir ini, sedang terjadi fenomena apa di Yogyakarta?
Zuly Qodir (ZQ): Saya kira fenomena kekerasan yang bernuansa agama ini fenomena "api dalam sekam" yang selama ini orang mengatakan Jogja tidak akan terjadi kekerasan yang berlatar belakangkan agama. Jogja ini akan tenteram aman damai dari hal-hal yang bersifat antar agama, tapi ternyata (tindak kekerasan itu) ada, dan ini menyeruak ke permukaan. Menurut saya disebabkan karena:
- Ketidaktegasan aparat penegak hukum yang selama ini melihat kejadian-kejadian di Jogja yang selalu berakhir tidak dengan jelas, baik kasus internal agama, perusakan kantor LKiS, perusakan fasilitas gereja, perusakan di saat persidangan, pembubaran diskusi di kampus-kampus, perusakan fasilitas rumah pribadi dan fasilitas ibadat. Kalau dibiarkan terus-menerus akan terjadi dan semakin besar dan semakin banyak terjadi di Yogyakarta.
- Menguatnya intoleransi. Yogyakarta yang disebut city of tolerance ternyata intolerensi di kalangan kelompok kecil (yang bukan asli Jogja atau pendatang) kurang memahami, mengerti jiwa Jogja yang dari dulu sampai sekarang terdiri dari bermacam-macam suku, bangsa, agama tinggal di Jogja hidup berdampingan saling mencari nafkah mencari ilmu ternyata mereka kurang menyadari itu, sehingga membuat hal-hal yang bertentangan dengan kondisi Jogja, yaitu intoleransi agama pada khususnya.
- Seringkali dendam-dendam pribadi yang sifatnya sangat sektoral dibawa ke dalam wilayah yang lebih besar yaitu wilayah agama, etnis. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan semangat. Dalam teori konflik-etnis dan konflik agama, hal yang paling mudah membangkitkan emosi, selain etnis adalah agama. Meskipun tidak rajin beribadat kalau dipersoalkan masalah keagamaan agama , maka gampang sekali tersulut.
- Tradisi dialog–komunikasi di Yogyakarta sudah mulai meluntur, tradisi saling menghargai, saling menghormati berbeda pendapat, beda aliran, beda pandangan mulai meluntur karena arus penyamaan-penyamaan yang didorong oleh adanya perkembangan teknologi informasi, apa-apa harus sama/seragam sehingga membuat masyarakat semakin masif dalam berbuat kekerasan makin permisif terhadap kekerarasan. Sehingga dalam lima tahun (terakhir) kekerasan di Yogyakarta semakin kentara.
SH: Apakah ini gambaran kehidupan hubungan antar umat beragama keyakinan di Indonesia? Apakah fenomena kekerasan yang terjadi di Jogja ini berdiri sendiri atau bagaimana?
ZQ: Dulu pernah ada survei (dimana) Jogja menempati urutan ke tujuh tingkat toleransi. Pada survei terakhir yang dilakukan dari 10 daerah yang diteliti, daerah yang paling toleran adalah: 1. Manado/Sulawesi Utara, 2. Sumatra utara, 3. Semarang/Jawa Tengah, 4. Yogyakarta.
Artinya sudah ada bibit-bibit intoleransi. Jadi orang menyangka kalau Jogja yang paling toleran, ternyata tidak dan terbukti, meskipun dilakukan oleh orang yang sedikit, tetapi keberaniannya luar biasa.
Hampir tidak ada peristiwa yang berdiri sendiri. Soal agama selalu ada hubungannya dengan soal yang sifatnya nonkeagamaan, meski faktor ekonomi tidak terlalu dominan. Di Jogja faktor ketersinggungan pribadi jauh lebih dominan. Orang Jogja paling kaya juga ada, yang paling miskin juga ada, tetapi di Jogja tidak ada yang tidak bisa makan. Faktor psikologi, dorongan emosi, kultur jauh lebih mempengaruhi. Para pendatang kurang bisa menjadi bagian dari kultur Jogja, maka mereka membangun kulturnya sendiri dan kultur itu bertabrakan dengan kultur Jogja yang terbuka, menghargai dan sopan. Kelompok-kelompok yang intoleran hampir semua dipimpin oleh jamaahnya bukan asli Jogja, jadi lebih pada faktor kultur dan personal.
SH: Bagaimana kaitan antara kekerasan di Jogja dengan penggantian kapolda DIY?
ZQ: Dalam dua tahun terakhir turn off nya pergantian pejabat Kapolda terlalu sering meskipun dikatakan sudah biasa sebagai rotasi jabatan, tetapi ada juga faktor politisnya. DIY dianggap menjadi barometer tentang kerukunan umat beragama, ternyata dalam 2 -3 tahun terakhir banyak kasus. Kasus Pangukan diantaranya, dan banyak yang tidak diekspos (dipublikasi) oleh media, mungkin medianya takut, bentrokan diantara mereka, dari segi itu ada faktor politis bahwa dianggap semacam kegagalan Kapolda dalam membangun city of tolerance, city of culture, city of base.
SH: Menurut perspektif Pak Zuly?
ZQ: Ini politis, karena tiga tahun terakhir DIY luar biasa. Masa dalam dua tahun ganti terus menerus. Malu dong sultannya, ketika Sultan menyerahkan kepada kepolisian, kalo gak selesai kan bahaya sekali.
SH: Kekerasan di Jogja ini murni masalah agama atau kepentingan lain?
ZQ: Kepentingan agama seharusnya tidak ada, tetapi kepentingan pengakuan, kepentingan artikulasi politik mereka, kepentingan mereka, ketersinggungan mereka, orang Jogja dari dulu baik-baik semua, belakangan menjadi galak-galak. Pengakuan-pengakuan mereka soal tidak diakui orang Jogja atau mereka tidak mau mengakui bagian dari Jogja, saya bukan orang Jogja kok, lalu membuat kerusuhan. Agama hanya dijadikan alat legitimasi atas kerusuhan yang terjadi.
SH: Kedepan untuk menjaga Jogja agar tidak dikenal sebagai kota intoleran?
ZQ: Pertama, aparat penegak hukum harus tegas, kalo ada orang berbuat kriminal, kerusuhan, kerusakan harus ditangkap, diadili, siapapun pelakunya. Jangan karena dia kelompok tertentu dibela oleh agama tertentu maka dibiarkan, kalau sudah jelas begitu harus dicari bukti-buktinya untuk diadili.
Kedua, birokrasi pemerintahan harus tegas pada mereka, dalam arti peraturan ijin tinggal, melapor, kalo tidak mau harus ditindak. Desa harus tegas, RT, RW harus mengikuti aturan, kalau tidak akan dilecehkan.
Ketiga, membangun masyarakat, kalau dulu disebut kamtibmas, pengamanan berbasis masyarakat. Diantara satu dengan yang lain harus saling memberikan pengawasan, melaporkan kalau ada orang-orang yang patut dicurigai harus dilaporkan. Melaporkan identitas, kalo ada yang tidak mau melaporkan identitasnya harus ditindak oleh aparat desa yaitu RT, RW.
Keempat, harus membangun solidaritas diantara LSM, aparat keamanan, ormas keagamaan, birokrasi pemerintahan, Perguruan tinggi untuk saling menjaga dengan baik yang aman. Jangan saling menelikung, jangan saling tidak percaya. Harus saling bahu membahu menciptakan Jogja yang jauh lebih baik dan aman.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...