Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 06:49 WIB | Jumat, 07 Juni 2013

10 Tahun Maarif Institute: Mencari Alternatif Terbaik

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. (Foto: Sabar Subekti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa  pimpinan agama-agama di Indonesia harus bersatu  dan menjadikan agama sebagai kekuatan moral bagi bangsa. Sebab, masalah moral dan etika merupakan masalah yang serius, yang antara lain ditandai oleh banyaknya kasus korupsi.

Buya Maarif (demikian dia biasa dipanggil) mengatakan hal itu dalam wawancara dengan satuharapan.com beberapa waktu lalu di Jakarta. Buya Maarif mengatakan bahwa masalah moral dan etika itu yang sekarang tidak terlihat dalam partai politik.  “Partai politik, termasuk partai agama, sama tidak ada harganya, karena masalah moral. Saya mengatakan sekarang partai politik kumuh.  Istilah kumuh itu memang lebih tajam, karena situasinya lebih dari kotor,” kata dia.

Hal itu juga yang mendorong Buya Maarif mendirikan “Maarif Institute” yang bertujuan untuk mencari alternatif bagi bangsa ini untuk menemukan yang terbaik. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Buya Maarif berkaitan dengan 10 tahun perjalanan Maarif Institute:

Satuharapan.com: Tentang situasi Indonesia sekarang, bagaimana Buya melihatnya?

Buya Maarif:  Kita tidak mempunyai kepemimpinan nasional. Kepemimpinan kita rapuh sekali, terutama yang belakangan ini. Sehingga orang bertanya di mana pemimpin kita. Negara sering tidak hadir. Padahal masyarakat memerlukan hadirnya negara.

Umpamanya pada kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ada kasus pada Ahmadiyah, pada Kristen. Dan pada kasus itu negara diam. Maka muncullah polisis swasta, karena polisi yang sebenarnya tidak berfungsi pada waktu tertentu. Seperti  di Lombok ,warga Ahmadiyah mengungsi. Mereka tenang-tenang saja.

Saya tidak setuju dengan teologi mereka, tetapi  masa mereka dibegitukan. Mereka adalah warga negara yang harus dilindungi haknya. Mereka harus mendapat perlindungan hukum. Secara konstitusional  mereka wajib dilindungi, tetapi negara tidak hadir.

Sekarang pemerintah ini adalah pemerintah yang rapuh. Tidak mempunyai nyali untuk menegakkan hukum.  Presiden selama ini mengingkari sumpah jabatannya. Sumpah itu adalah ketaatan pada Pancasila dan menegakkan konstitusi.

Satuharapan.com :  apakah pemilihan umum tahun depan bisa memberi harapan pada perubahan yang lebih baik?

Buya Maarif:  Kalau kita memakai demokrasi, maka 2014 menjadi penting. Kalau 2014 masih tetap seperti ini, penderitaan ini makin panjang. Kita memperpanjang penderitaan. Ini berarti kita mengkianati  Pancasila dan mengkianati UUD 1945.

Untuk itu, rakyat juga harus sadar. Rakyat jangan mudah untuk terjebak. Kalau ada partai politik atau politisi yang berkampanye menawarkan uang,  sebaiknya jangan mengikat janji setia untuk memilih dia.  No! kalau terpaksa, ambil uangnya, tapi pilih sesuai hati nurani.

Satuharapan.com: Kalau situasinya seperti itu, bagaimana kita tidak pesimistis, tetapi apa yang bisa membuat kita optimistis?

Buya Maarif:  Itu tidak mudah, karena kita bergantung pada keputusan parti politik. Sementasra partai sekarang menganggap tidak perlu moral. Mereka berkuasa; mereka mencampuri semua urusan.  Menurut saya ini keterlaluan.  Tetapi kalau eksekutif itu kuat, DPR bisa dikendalikan. Sayangnya,  eksekutif lemah sekali.  Tidak punya nyali dan tidak punya ketegasan dalam mengambil keputusan.

Kami tidak tahu ada apa ini. Apakah yang dipikirkan adalah tentang bagaimana bisa bertahan? Persoalan negara dan bangsa  mungkin (dianggap) urusan nomor tiga atau nomor empat. Ini  masalah serius, menurut saya.

(Buya  Maarif menjelaskan bahwa masyarakat sipil di Indonesia terpecah belah. Kondisi sekarang ini terjadi karena pemerintah lemah, dan oposisi juga lemah. Dia menyebut bahwa masyarakat sipil tidak satu komando, sehingga suaranya tidak diperhatikan pemerintah. Apalagi umumnya mudah disogok, bahkan termasuk kalangan muda dan mahasiswa. Partai politik sebagai bagian penting masyarakat sipil juga tidak bisa menjadi pelopor. Penyebabnya, politik sudah dijadikan mata pencaharian.)

Satuharapan.com : Bagaimana soal melahirkan pemimpin bangsa?

Buya Maarif:  Di sini ada peranan media massa, termasuk media  sosial, terutama TV. Tetapi  media massa sudah  tergantung siapa yang membayar. Bagaimana akan menyuarakan hati nurani? Sekarang ada beberapa media yang mau tumbuh untuk ke arah tersebut. Media yang diperlukan adalah yang mempunyai pesan nasional yang kuat, pesan tentang keutuhan bangsa yang dilakukan terus-menerus. Itu mungkin bisa membantu memunculkan pemimpin.

Apa yang terjadi di Jakarta saya harap terjadi di daerah-daerah lain.  Memang tidak mudah untuk diharapkan. Tapi gejala Jokowi (Gubernur DKI Jakarta-Red.)  ini juga mefomenal.  Apakah 2014 bisa begitu? Mudah-mudahan ya. Setidaknya muncul pemimpin  di pemerintah yang mau berdialog dengan rakyat. Karena sekarang rakyat sudah tidak ada harganya. “Demi rakyat” itu hanya omongan saja, di dalam retorika saja. Kampanye hanya bicara janji, tetapi rakyat menjerit. Coba lihat soal kasus daging sapi. Itu politik kotor.  Tetapi pelakunya masih tersenyum-senyum. Ini politik jorok.

Satuharapan.com : Bagaimana dengan perjalanan Maarif Institue?

Buya Maarif:  Sebenarnya saya ini apalah? Saya simbol saja. Yang bekerja anak- anak muda. Ini lembaga kecil, tetapi agak didengar orang. Rapat-rapat lintas agama mereka terlibat. Kami kecil sekali, tetapi lembaga ini memperjuangkan pluralisme. Dan kita serius.  Bukan untuk mencari makan. Kita bertolahk dari filosofi Maarif Institute adalah untuk kebudayaan dan kemanusiaan.

Satuharapan.com : Motivasi apa yang membuat Buya memilih bersikap kritis?

Buya Maarif:  Karena kita tidak percaya lagi dengan apa yang ada sekarang. Maka harus diciptakan alternatif. Kita memang belum tentu berhasil, tetapi harus ada alternatif dari keadaan sekarang.

Posisi ini untuk  menemukan alternatif agar bangsa ini dapat menemukan hal yang terbaik, sampai sehari sebelum hari kiamat datang. Itu sebabnya  kaum nasionalis dekat dengan saya, juga yang punya hati nurani.  Saya mengutarakan apa yang terasa di dalam hati. Itu yang saya utarakan. Jadi bukan dibuat-buat.  Itu saya kira yang membuat orang lain agak percaya. Dan yang mendukung Maarif Inrtitute itu banyak dari non Muslim.

Satuharapan.com: Banyak orang tidak suka dengan sikap ini? Bagaimana menghadapinya?

Buya Maarif: Banyak.  I have nothing to lose.  Saya tidak bergantung pada siapa-siapa. Saya  mantan PNS, rezeki saya tak berkurang. Saya merasa,  mungkin, yang  paling gerah dengan saya  adalah RI 1.

Saya bersikap optimis tetapi sangat kritis. Critical optimism.  Itu tertanam dalam hati saya. Tetapi saya khawatir kalau kondisi kita sudah sampai babak belur.

Satuharapan.com : Itu juga yang membuat Buya berani di depan ketika menyebutkan bahwa pemerintah berbohong?

Buya Maarif: Ya. Tetapi sayangnya itu tidak dilakukan oleh yang lain, terutama partai politik. Mereka kan bagian masyarakat sipil. Padahal mereka tinggal masuk dan bergabung. Partai politik melempem. Kalau kita bertugas menggerakan moral, dari berbagai kelompok agama. Kita tidak bisa lebih lanjut, karena ini gerakan moral.  Kita sudah membuka krannya, tetapi tidak diambil.  Semestinya ketika itu parpol tinggal menangkap bola untuk proses perubahan yang penting bagi bangsa.

Satuharapan.com : Mengapa itu tidak terjadi?

Buya Maarif: Tidak  dilakukan, karena mereka (politik-Red.) konyol. Saya katakan  politik sedang jadi  mata pencaharian. Mereka makan di situ, termasuk untuk memperbaiki rumah, mobil.  Ini  lemah sekali.

Satuharapan.com : Jadi ini yang juga menguatkan semangat di Maarif Institute?

Buya Maarif:  Ya. Bagaimanapun juga ini negara kita. Kita jangan diam. Kelompok agama jangan diam.  Pokoknya speak out.  Itu yang penting, dan harus menghormati hukum.  Juga jangan kalap dan jangan anarkis.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home