100.000 Bayi Meningggal Setiap Tahun Akibat Perang
MUNICH, SATUHARAPAN.COM - Setidaknya 100.000 bayi meninggal setiap tahunnya karena konflik bersenjata dan dampaknya, dari kelaparan hingga penolakan bantuan kesehatan, menurut laporan LSM hak-hak anak, Save The Children International, pada Jumat (15/2).
Pada 10 negara yang paling terdampak, perkiraan konservatif menunjukkan setidaknya 550.000 bayi meninggal sebagai akibat dari perang yang berlangsung antara 2013 dan 2017, kata Save the Children, seperti dilaporkan oleh kantor berita AFP.
Mereka tak mampu bertahan melalui perang dan dampaknya, antara lain kelaparan, kerusakan pada rumah sakit dan infrastruktur, kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan sanitasi serta penolakan bantuan kesehatan.
Anak-anak menghadapi ancaman terbunuh atau cacat, direkrut oleh kelompok-kelompok bersenjata , diculik atau menjadi korban kekerasan seksual.
Seorang bayi yang menderita gizi buruk parah sedang dimandikan di Aslam, Hajjah, Yaman, 25 Agustus 2018.
“Hampir satu dari lima anak tinggal di daerah-daerah yang terdampak konflik – lebih banyak dari waktu-waktu sebelumnya dalam dua dekade terakhir,” kata CEO badan amal itu, Helle Thorning-Schmidt, dalam sebuah pernyataan.
“Jumlah anak yang terbunuh atau cacat lebih dari tiga kali lipat. Dan, kami melihat peningkatan yang mengkhawatirkan dalam penggunaan bantuan sebagai senjata dalam perang,” katanya saat merilis laporan di Konferensi Keamanan yang diselenggarakan di Munich, Jerman.
Save The Children mengatakan sebuah penelitian yang dilakukan dari Peace Research Institute Oslo menemukan bahwa 420 juta anak-anak tinggal di daerah terdampak konflik pada 2017.
Jumlah ini mewakili 18 persen dari semua anak di seluruh dunia dan naik 30 juta dari tahun sebelumnya.
Negara-negara yang masuk dalam daftar negara paling terdampak perang adalah Afganistan, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Iraq, Mali, Nigeria, Somalia, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman.
Serdadu anak yang baru dibebaskan bersiaga dengan senjatanya dalam upacara pembebasan di Yambio, Sudan Selatan, 7 Desember 2018.
Jumlah total kematian akibat efek tidak langsung selama periode lima tahun melonjak menjadi 870 ribu, ketika semua anak di bawah lima tahun juga masuk dalam hitungan, kata badan amal tersebut.
Badan amal tersebut juga merilis daftar rekomendasi untuk membantu melindungi anak-anak dengan langkah seperti komitmen batas usia minimum 18 tahun untuk perekrutan militer hingga menghindari penggunaan senjata berbahan peledak di daerah-daerah berpenduduk.
Thorning-Schmidt mengatakan meningkatnya jumlah anak sebagai korban sangat mengkhawatirkan.
“Sangat mengejutkan bahwa pada abad ke-21 kita mengalami kemunduran pada prinsip dan standar moral yang begitu sederhana, anak-anak dan warga sipil seharusnya tidak boleh menjadi sasaran.” (VOA)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...