11 Tahun Simfoni Perdamaian Aceh
Tanggal 15 Agustus tahun ini, tepat menandai 11 tahun perdamaian di Aceh lewat MOU Helsinki. Akan tetapi institusionalisasi demokrasi masih rawan, apalagi ditambah jurang kultural yang lebar. Ke mana Aceh akan melangkah?
SATUHARAPAN.COM - Menjelang 11 tahun perdamaian Aceh, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membatalkan keberadaan Qanun No. 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Pembatalan qanun dilakukan karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah yang melarang lambang dan bendera yang memiliki persamaan dengan organisasi terlarang atau separatis digunakan (pasal 6 ayat (4)). Pembatalan itu dikeluarkan pada 12 Mei 2016.
Bukan hanya itu, Kemendagri juga melakukan sinkronisasi atas beberapa qanun lainnya yang dianggap tidak linier dan kontradiktif dengan peraturan lebih tinggi. Qanun-qanun itu diperkirakan bisa menjurus dintegrasi sosial-politik lokal. Di antara yang dievaluasi adalah qanun tentang Pedoman dan Penyelenggaraan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah (PPKUB-PTI) yang disahkan “secara diam-diam” karena mendapat kritik dari masyarakat sipil di Aceh.
Muara kritik terjadi karena qanun itu dianggap bukan hanya mengabsorsi Peraturan Bersama Menteri Agama No. 9 dan Menteri Dalam Negeri 8 tahun 2006 yang saat ini sedang dievaluasi, tapi juga menambah distorsi terkait kualifikasi pendirian rumah ibadah. Hal ini dianggap bisa mengancam harmoni sosial-keagamaan di Aceh dan mempertajam relasi mayoritas-minoritas. Saat hadir di rapat evaluasi bersama tim Kemendagri pada 26 Juli lalu, diperlihatkan konstruksi peraturan perundangan di Aceh banyak yang tidak sejalan dengan norma dan kaedah hukum nasional.
Konspirasi Senyap
Uniknya, dan ternyata berbeda dengan reaksi nasional, reaksi pemerintahan di Aceh sama sekali tidak muncul. Suasana di Aceh tetap hening-sunyi, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hal ini berbeda dengan reaksi daerah lain ketika Mendagri membatalkan 3.143 perda bermasalah, sebagian besar adalah berhubungan dengan investasi, izin usaha, dan pertambangan minerba.
Sikap diamnya pemerintah Aceh sempat menguatkan keheranan dari pihak Jakarta. Apalagi demi melihat kilas balik sejarah penolakan DPR Aceh ketika Kemendagri tidak menerima qanun Lambang dan Bendera pada 2013. Saat itu terjadi “diskusi meja bundar” 10 putaran di beberapa kota di Indonesia, yang menguras bukan hanya emosi dan psikologi politik, tapi juga anggaran perjalanan dinas yang besar.
Rapat-rapat itu buntu karena pihak Aceh tak surut sedepa pun terkait pengesahan qanun lambang Buraq-Singa dan bendera Bulan Sabit-Bintang. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat melihat jika memuluskan qanun itu bisa sehasta lagi menuju pelembagaan etno-nasionalisme negatif dan imajinasi separatisme karena identik dengan simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Adapun di sudut-sudut lain Aceh, gelombang penolakan pengesahan qanun yang akan menggusur lambang Aceh: Pancacita yang sudah bertahan lebih 50 tahun, juga terjadi. Masyarakat Aceh bagian tengah dan pantai Barat-Selatan minta pisah jika lambang dan bendera itu diberlakukan.
Ketika lahir, lambang Pancacita diimajinasikan sebagai simbol keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan. Ia telah menjadi darah, daging, rekatan, dan ingatan sosio-kultural masyarakat Aceh. Dipasang dimana-mana di Aceh: spanduk, kantor, kop surat, dan juga siaran lokal. Sang pendesain logo adalah seorang seniman Gayo, etnis non-mayoritas di Aceh yang tak berkepentingan mempolitisasi pada satu-satu identitas etnik.
Seperti diketahui, Aceh memiliki 10 etnis “pribumi” dan paling sedikit tujuh “etnis migran”, sehingga akan menjadi masalah jika hanya ada satu representasi etnis untuk semua sisanya. Karenanya, logo Pancacita dianggap mampu menjadi penjernih dan pengikat keberagaman Aceh secara imajinatif, kultural, demokratis, dan ekuatif.
Inilah sebagian sketsa yang mewarnai Aceh pada perayaan 11 tahun perdamaian, galib dikenal Perdamaian Helsinki. 11 tahun lalu perdamaian itu dirancang di sebuah mansion yang berserambi danau, berteratai bunga kuning, dengan bangau-bangau yang berterbangan di munisipalitas Vantaa, 25 km dari Metropolis Helsinki, Finlandia. 15 Agustus 2005, saat ketika musim panas tapi sejuk itu menyergap tubuh-tubuh negosiator dari pemerintah Indonesia dan GAM. Fase perundingan berlangsung beberapa babak sebelum ditandatangani, termasuk fase krusial ketika pihak GAM menginginkan istilah Self-Government, calon independen, partai lokal, dan kebebasan beragama diarsipkan.
Namun setelah bertahun-tahun perdamaian ini dijalankan, dialektika sejarah tidak selalu positif. Salah satu yang dikeluhkan ketika kekuatan GAM yang bertransformasi menjadi kekuatan politik lokal: Partai Aceh, gagal menyerbukkan benih demokrasi substantif dari bunga perdamaian MoU Helsinki.
Universalisme HAM dan Keberagaman
Salah satu imperatif yang terdapat di antara butir-butir perdamaian adalah “Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Paragraf 1.4.2 MoU Helsinki).”
MoU Helsinki memang akhirnya menjadi berkah nasional ketika dua kovenan itu diratifikasi secara nasional (UU No. 11 tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik). Sejak hadirnya dua undang-undang itu, Indonesia wajib menjalankan pemerintahan dengan elan vital universalisme HAM, termasuk kode etik dan nilai yang dikandung di dalam dua kovenan itu.
Satu contoh misalnya Qanun PPKUB-PTI yang dianggap memproblematisasi dan mengkriminalisasi semangat kebebasan beragama. Peraturan induk yang menghadirkan qanun ini (PBM No. 9 dan 8 tahun 2006) telah klasik kontroversinya karena membuka ruang persungutan antar-umat beragama terkait keberadaan rumah ibadah. Demikian pula generalisasi pola penyelesaian secara nasional sehingga menafikan kearifan dan permufakatan lokal dianggap sangat “tidak Indonesia”. Terakhir, istrumentalisasi kelembagaan “kerukunan” malah secara aktual menjadi lembaga tidak rukun. Beberapa prahara konflik bernuansa agama seperti kasus Tolikara dan Singkil selalu menunjuk keberadaan PBM itu. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah memperdalam konflik.
Demikian pula pasal tentang “penodaan agama” dan “sesat” yang terdapat di dalam qanun ini. Alih-alih menjadi regulasi progresif yang bisa menata ulang umat dalam memahami perbedaan, ia semakin mengedepankan ruang permusuhan di antara umat. Yang terpinggirkan malah sifat tenggang-rasa dan semakin buru-buru marah atas nama Tuhan.
Istilah penodaan agama (defamation of religion) sebenarnya sudah tidak umum dipakai di dalam konteks pluralisme agama dan keyakinan. Dalam semua agama dikenal denominasi, sekte, firqah, dll yang tidak mudah untuk dimasukkan dalam teminologi penistaan/penodaan agama. Jika perbedaan mazhab/denominasi apalagi dari kelompok minoritas yang progresif ketika menafsirkan keyakinannya, serta-merta bisa tertuduh sedang menista agama kelompok mayoritas.
Padahal secara empiris, pasal penistaan agama dan terminologi sesat dipraktikkan untuk menyelesaikan persoalan kekuasaan dibandingkan teologis. Hampir jarang terjadi perdebatan fiqh atau akidah dengan jiwa tenang sebelum menuduh dan menyesatkan pihak lain. Tuduhan sesat sering muncul dalam turbulensi politis untuk membungkam “kelompok rasional” dan tak ada cara lain kecuali menggunakan sandaran teologis yang diafirmasi oleh negara dengan undang-undang itu. Akhirnya yang terjadi malah menghina keyakinan atau mazhab seseorang(blasphemy), dengan sehina-hinanya kalimat dan carutan penuh amarah laksana makhluk lapar.
Lagipula, inspirasi tentang pasal penodaan berasal dari produk klasik di era Orde Lama, yaitu Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. UU No.1/PNPS/Tahun 1965 dihadirkan untuk menghadapi situasi riil saat itu, kondisi fait accompli terutama dari kelompok Komunis kepada kaum agamawan. Meskipun juga bisa dilihat bahwa pilihan hadirnya undang-undang ini hanya menjadi cara pintas untuk menjaga kerukunan keberagaman di Indonesia, ia gagal menginisiasi secara sadar, bersifat komprehensif, dan preventif untuk dimensi yang lebih luas dan kompleks.
Sebelas tahun perdamaian Aceh, di samping memperlihatkan pelembagaan demokrasi politik yang belum matang, juga menunjukkan jurang kultural yang belum terkelola dengan baik. Meskipun simfoni perdamaian telah melahirkan banyak aransemen, tapi partiturnya masih terlalu sunyi untuk komposisi keberagaman dan toleransi.
Penulis adalah aktivis Jaringan Antariman Indonesia (JAII). Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh.
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...