120 Lumba-lumba Amazon Ditemukan Mati, Diduga Akibat Kekeringan Parah
AMAZON, SATUHARAPAN.COM-Bangkai 120 lumba-lumba sungai ditemukan mengambang di anak sungai Amazon selama sepekan terakhir dalam keadaan yang diduga para ahli disebabkan oleh kekeringan parah dan panas.
Para peneliti yakin, permukaan sungai yang rendah selama kekeringan parah telah memanaskan air hingga mencapai suhu yang tidak dapat ditoleransi oleh lumba-lumba. Ribuan ikan baru-baru ini mati di sungai Amazon karena kekurangan oksigen di dalam air.
Lumba-lumba sungai Amazon, sebagian besar berwarna merah jambu mencolok, adalah spesies air tawar unik yang hanya ditemukan di sungai-sungai Amerika Selatan dan merupakan salah satu dari spesies lumba-lumba air tawar yang tersisa di dunia. Siklus reproduksi yang lambat membuat populasi mereka sangat rentan terhadap ancaman.
Di tengah bau busuk lumba-lumba yang membusuk, para ahli biologi dan ahli lainnya yang mengenakan pakaian pelindung diri dan masker berwarna putih melanjutkan pada hari Senin (2/10) untuk mengambil mamalia yang mati dari danau dan melakukan otopsi pada bangkai tersebut untuk menentukan penyebab kematiannya.
Para ilmuwan tidak mengetahui secara pasti apakah kekeringan dan panas merupakan penyebab meningkatnya kematian lumba-lumba. Mereka berupaya menyingkirkan penyebab lain, misalnya infeksi bakteri yang bisa membunuh lumba-lumba di danau yang terbentuk di tepi Sungai Tefé sebelum mengalir ke Amazon.
Setidaknya 70 bangkai muncul ke permukaan pada hari Kamis ketika suhu air Danau Tefé mencapai 39 derajat Celcius (102 derajat Fahrenheit), lebih dari 10 derajat lebih tinggi dari rata-rata sepanjang tahun ini.
Suhu air menurun selama beberapa hari tetapi naik lagi pada hari Minggu (1/10) menjadi 37 C (99 F), kata para ahli yang khawatir.
Aktivis lingkungan menyalahkan kondisi yang tidak biasa ini pada perubahan iklim, yang membuat kekeringan dan gelombang panas lebih mungkin terjadi dan parah. Peran pemanasan global dalam kekeringan di Amazon saat ini masih belum jelas, dan faktor-faktor lain seperti El Nino juga ikut berperan.
“Kami telah mendokumentasikan 120 bangkai dalam sepekan terakhir,” kata Miriam Marmontel, peneliti di lembaga lingkungan Mamiraua yang berfokus pada wilayah sungai pertengahan Solimoes.
Sekitar delapan dari setiap 10 bangkai adalah lumba-lumba merah muda, yang disebut “boto” di Brasil, yang mewakili 10 persen dari perkiraan populasi mereka di Danau Tefé, katanya.
Boto dan lumba-lumba sungai abu-abu yang disebut “tucuxi” termasuk dalam daftar merah spesies terancam oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam
“Sepuluh persen adalah persentase kehilangan yang sangat tinggi, dan kemungkinan peningkatannya dapat mengancam kelangsungan hidup spesies di Danau Tefé,” kata Marmontel.
Institut Konservasi Keanekaragaman Hayati Chico Mendes di Brazil telah mengerahkan dokter hewan dan ahli mamalia air untuk menyelamatkan lumba-lumba yang masih hidup di danau tersebut. Mereka tidak dapat dipindahkan ke perairan sungai yang lebih dingin sampai para peneliti mengesampingkan penyebab bakteriologis dari kematian tersebut. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...