15 tahun Reformasi: Gagasan Tanpa Eksekutor?
SATUHARAPAN.COM - Pekan ini pada 15 tahun lalu, Indonesia, khususnya di Jakarta, sedang dilandai arus perubahan yang besar yang disebut sebagai reformasi. Setelah berhari-hari mahasiswa dan berbagai kelompok dari masyarakat sipil berdemonstrasi terhadap pemerintah, arus tuntutan perubahan menjadi aksi yang tak terbendung. Tekanan ekonomi yang dihadapi rakyat akibat krisis keuangan dan ekonomi membuat aksi meluas di sejumlah kota besar.
Pada tanggal 12 Mei tahun 1998 itu, sayangnya, aksi menuntut perubahan dijawab dengan tembakan senjata yang menewaskan sejumlah mahasiswa di kampus Trisakti, Jakarta. Tak pelak demonstrasi yang menuntut perubahan berkembang menjadi suasana yang lebih kacau, kemarahan. Korban pun makin banyak, penjarahan terjadi di mana-mana, dan kriminal menjadi pemandangan yang mengerikan.
Arus perubahan itu akhirnya menumbangkan pemerintahan Rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Dia akhirnya menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden setelah berkuasa selama 32 tahun.
Ada enam tuntutan yang muncul dalam aksi selama beberapa pekan itu, dan terus menjadi agenda pembahasan sampai tahun-tahun berikutnya. Enam agenda itu adalah (1) penegakan supremasi hukum, (2) pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), (3) adili Soeharto dan kroni-kroninya, (4) amandemen UUD 1945, (5) penghapusan Dwi Fungsi ABRI (TNI/Polri), dan (6) pemberian otonomi daerah.
Setelah 15 tahun berjalan, agenda reformasi ternyata terbengkalai. Dan hari ini, setelah 15 tahun, kita justru menyaksikan arus yang berbalik ke arah kondisi pada masa sebelum reformasi, bahkan mungkin lebih buruk.
Penegakkan supremasi hukum sekarang ini dalam kondisi yang memprihatinkan, justru karena kita menyaksikan pelanggaran hukum terus terjadi, bahkan pelanggaran konstitusi. Pelanggaran itu juga dilakukan oleh para penegak hukum.
Agenda kedua, pemberantasan KKN, seperti kata-kata kosong, karena korupsi sekarang tengah meraja lela. Pemberitaan di media massa tak pernah sepi dari kasus korupsi dengan nilai yang semakin besar.
Agenda ketiga, tak bisa diwujudkan, karena Soeharto telah meninggal. Namun ternyata agenda ini pun dilupakan, karena banyak kroni Soeharto yang tak disentuh sama sekali. Sedangkan agenda kelima (penghapusan Dwi Fungsi TNI/Polri), kita telah menyaksikan dengan tidak ada lagi Fraksi ABRI (TNI/Polri) di dalam DPR dan MPR.
Agenda keenam, pemberian otonomi daerah, telah dilakukan, tetapi ternyata menghasilkan korupsi yang makin luas ke daerah dengan lahirnya penguasa-penguasa baru di tingkat daerah. Otonomi bukan untuk desentralisasi pembangunan, tetapi desentralisasi kekuasaan belaka. Dan kita terus menyaksikan daerah-daerah yang tetap menjadi kantong kemiskinan dan keterbelakangan.
Apa yang terjadi, sehingga agenda reformasi setelah 15 tahun tidak menampakkan hasil yang diharapkan? Reformasi dengan agenda yang begitu indah dan disuarakan dengan begitu semangat, tampaknya hanya direspons secara formal. Penegakan supremasi hukum, dan pemberantasan KKN hanya wacana, otonomi daerah hanya bungkus formal saja.
Reformasi kehilangan substansinya. Bukan karena tidak relevan lagi, melainkan karena institusi-institusi dan orang-orang yang ada di pemerintahan yang seharusnya mengemban pelaksanaan gagasan luhur reformasi, tidak memiliki kapasitas dan integritas untuk mewujudukannya. Bahkan masalah ini pun tak ingin mereka bicarakan. Bulan Mei ini semestinya menjadi momentum untuk mengembalikan arah pejalanan bangsa pada arus sesungguhnya reformasi. Namun kita menyaksikan kecenderungan kuat hal itu dilupakan.
Kita baru mampu menyuarakan gagasan, tapi belum mampu mewujudkan dalam tindakan. Bangsa ini berada dalam ambang kehilangan visi, dan dalam pengelolaan orang-orang dan kelompok yang mempertaruhkan masa depan dengan ketidakpedulian.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...