2013: Hilangnya Modal Sosial dan Spiritual
SATUHARAPAN.COM - Di bidang sosial, tahun 2013 ini diwarnai banyak catatan tentang tangisan anak bangsa yang makin lirih karena kelelahan dan tak lagi didengar. Banyak pejabat yang bermulut lebar, tetapi telinga kecil dan tersumbat. Apalagi menjelang kompetisi politik tahun 2014, spanduk dan iklan penuh “dongeng sukses” dan “pernyataan kosong” yang jauh dari kenyataan yang dirasakan rakyat.
Bertahun-tahun diskriminasi dan perlakukan yang tak selayaknya bagi warga negara dilakukan terhadap bagian warga negara, karena mereka dilihat sebagai kelompok beranggota sedikit. Mereka adalah kelompok masyarakat adat, penganut agama dan keyakinan, warga di daerah perbatasan, warga yang jauh dari pusat pemerintahan.
Kelompok masyarakat adat yang hidup dari kekayaan alam yang mereka pelihara sejak berabad-abad lampau, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, banyak yang dirampas. Mereka yang berjuang didiskriminasi, dipenjarakan, bahkan dibuhun tanpa ada proses hukum terhadap pelaku.
Kelompok masyarakat adat ini yang merupakan bagian dan yang mempertahankan wajah bangsa di Nusantara ini juga dilecehkan, karena keyakinannya tidak diakui. Sekelompok penganut agama menyebut mereka sebagai penyembah berhala dan kafir, dan pejabat di pemerintahan membenarkannya, bahkan sebagian justru datang dari pernyataan pejabat.
Warga masyarakat adat yang juga disebut indigenous people belakangan mengalami multi diskriminasi sekaligus. Berkaitan dengan keyakinan, bahkan mereka kemudian tidak bisa memperoleh akses yang layak untuk hak-hak sipili, peserti kartu tanda penduduk. Dan hal ini akan menjadi sumber dari hilangnya banyak akses mereka sebagai warga negara.
Melanggar Konstitusi
Dalam kehidupan beragama, kelompok-kelompok yang karena jumlahnya kecil terus dimarjinalkan. Yang paling marak adalah kasus yang menimpa umat Muslim Syiah, umat Ahmadiyah, dan umat Kristen dan Katolik. Dua yang pertama, bukan hanya menghadapi serangan perusakan atas rumah ibadah mereka, tetapi juga menyangkut larangan menjalankan ibadah menurut keyakinan, dan bahkan keberadaan keyakinan mereka.
Pada dua kelompok umat beragama yang kedua, memang tidak menghadapi masalah eksistensi atas keyakinan pada agama mereka, tetapi perusakan rumah ibadah dan larangan menjalankan ibadah terus terjadi secara masif. Apa yang dilaporkan pers dengan jumlah hingga ratusan meruapakan puncak gunung es, di mana kasus yang sebenarnya dalam jumlah yang lebih besar.
Meskipun sangat gamblang bahwa tentang keyakinan dan agama adalah kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Tindakan pelanggaran terhadap konstitusi yang dilakukan oleh warga sipil, aparat penegak hukum dan pemerintah, tetap saja dibiarkan, bahkan menjadi bagian yang melanggar konstitusi.
Masalah ini bahkan sering dilihat lebih pada kaca mata kepentingan politik, dan bahkan ssaat, ketimbang masalah konstitusi yang paling fundamental bagi bangsa dan negara ini. Masalah ini dibiarkan karena ada agenda-agenda remeh, bahkan agenda yang melanggar hukum, yang justru dilindungi dan diutamakan, ketimbang agenda besar bagi bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Keputusan hukum yang tertinggi, yang memenuhi kebenaran forman dan material, seperti kasuk GKI Taman Yasmin, Bogor, bahkan tidak bisa diselesaikan. Para pemimpin di pemerintahan yang selalu bercerita tentang sukses pembangunan, bahkan tidak mampu mengatasi masalah yang sebenarnya solusinya sangat gamblang. Hal ini, misalnya dilakukan oleh Presiden ketika “menerima” penghargaan World Stateman dari sebuah yayasan di New York atas “kehebatan” membangun perdamaian, hak asasi, dan kebebasan beragama, yang menjadi sebuah piagam mahal untuk “kebanggan” seseorang, tetapi menyakitkan bagi banyak orang.
Demikian juga dengan penganut Syiah dan Ahmadiyah yang telah bertahun-tahun hidup sebagai pengungsi di negeri sendiri dibiarkan hidupnya terlunta-lunta. Mereka bahkan tidak diakui sebagai warga negara dengan tidak mendapatkan kartu tanda penduduk.kemanusiaan mereka telah direndahkan dengan cara-cara yang tidak masuk akal di abad moderen ini.
Kaum Tanpa Suara
Kasus-kasus di atas yang diungkapkan merupakan kasus yang marak diberitakan media massa. Namun kita menyaksikan betapa kasus itu diabaikan, dan seolah-olah para pejabat tidak punya wewenang atau tanggung jawab atas hal itu. Mereka lebih suka cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab pada pihak lain.
Maka, warga bangsa di daerah pinggiran, di kawasan yang jauh dari pusat adalah kelompok yang dalam satu dekade ini sangat terabaikan. Kondisi ini sangat bahaya, karena mereka hidup nyaris sepenuhnya dari upaya-upaya mereka, dan nyaris tanpa kehadiran negara.
Infrastruktur di daerah seperti itu sangat tidak memadai, sebagian tidak ada perbaikan, dan banyak yang bahkan belum dibangun sama sekali. Banyak keputusan negara tidak sampai di sana, kecuali pajak dan arus eksploitasi sumber daya alam. Suara mereka banyak yang tidak didengarkan. Bahkan ketika menghadapi bencana, mereka berjuang sendiri.
Program untuk daerah perbatasan sering hanya menjadi konsumsi media massa dan kepentingan popularitas. Kondisi ini sangat berbahaya, karena secara de facto, kekuasaan negara tidak hadir di sana, dan tentang eksistensi negara menjadi pertanyaan yang mendasar.
Mereka menjadi kaum yang tanpa suara (voiceless), kecuali ketika ada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hal ini juga mencerminkan bahwa para pemimpin kita hanya mengutamakan kekuasaan, dan mengambil suara mereka untuk mendapatkan mandat untuk kemudian dimanipulasi, bukan pemimpin yang mempertanggung-jawabkan mandat kepada mereka.
Hipokrit
Keprihatinan ini semakin dalam dan menyakitkan, karena kenyataan bahwa negara pun sering tidak hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bahkan di dekat pusat kekuasaan negara. Premanisme di kantor pemerintahan, dan aparat penegak hukum, di wilayah publik di mana pelanggaran hukum sangat masif, adalah kenyataan kekuasaan negara absen.
Mengapa kekuasaan negara absen? Karena pemegang kekuasaan negara menggunakannya untuk kepentingan sendiri, dan bukan untuk menjadi pemimpin yang menjalankan kepentingan publik (rakyat).
Masalah ini menjadi tidak mudah untuk diatasi, karena masalahnya berpusat pada moralitas, spiritualitas dan religiusitas, sekaligus hal ini yang harus diatasi. Hipokrit dan munafik muncul dengan masif, bicara demi rakyat, namun keputusannya memberatkan hidup rakyat, bahkan mencuri uang rakyat. Aatribut keagamaan dikenakan untuk menunjukkan kesucian, tetapi tindakannya melanggar moralitas. Berbicara menjalankan konstitusi, dan di belakang mencampakkan konstitusi.
Bahkan koruptor terus dibela, dan disebut sebagai korban, dan bahkan ada yang memuja dan menyebutkan lembaga yang menangkapnya sebagi menzalimi. Sementara orang-orang dengan integritas baik, hilang dari panggun elite pemerintah, bahkan mereka tersingkirkan. Ini adalah sympton dari masalah rusaknya modal sosial dan modal spiritual.
Masalah Indonesia kembali tertuju modal sosial dan spiritual bangsa ini jeblok, seperti catatan sebelumnya. Perbaikan hanya akan terjadi dengan kesadaran penuh untuk itu. Cara yang sejak zaman kuno dilakukan hanyalah mengembangkan budaya yang memberi apresasi pada perilaku yang dibenarkan secara moral universal, dan tidak membiarkan tindakan kemunafikan, dan pelanggaran sekecil apapun. Sayangnya, tanda-tanda ke arah itu masih merupakan suara yang lirih.
Editor : Sabar Subekti
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...