70 Tahun Indonesia: Pembangunan Bukan Untuk Dehumanisasi
SATUHARAPAN.COM - Sudah 70 tahun Indonesia merdeka dari penajajahan kolonial. Tetapi benarkah rakyat Indonesia sudah merdeka? Rakyat dengan tubuh kurus dan dan tirus itulah yang berjuang. Mereka harus bekerja dalam siksaan di kebun-kebun kolonial dan hasilnya pun tidak dinikmati oleh rakyat. Hasil kebun dinikmati oleh penjajah dan masuk dalam pundi-pundi Negara penjajah. Rakyat menjadi budak di tanahnya sendiri. Hasil kerja keras dan sumber bumi di tanah sendiri diperas bahkan dirampas karena kekuasaan penjajah.
Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, tapi rakyat masih tetap kurus dan tirus. Rakyat tetap masih menjadi budak di tanah sendiri. Penjajahnya tidak hanya asing tetapi juga saudara se tanah air. Bentuk penjajahannya adalah pembangunan?!
Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan, begitulah jargon yang disampaikan guru kepada siswanya di sekolah. Richard Peet menyampaikan bahwa Pembangunan yang sejatinya bermakna usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Tetapi menjadi malapetaka bagi banyak orang terutama bagi mereka yang miskin secara ekonomi. Bahkan sejarah mencatat, kemerdekaan rakyat untuk berekspresi juga dirampas oleh kekuatan Negara dan militer untuk menjaga stabilitas politik sehingga tidak boleh ada yang melontarkan kritik. Karena kritik akan mengganggu stabilitas politik, dan instabilitas politik dapat menghambat pembangunan.
Kini kita sudah biasa terdengar istilah sawah disulap menjadi perumahan. Penyulapan ini tidak membuat rasa senang bagi orang yang melihatnya. Tidak seperti pertunjukan sulap yang menghibur para hadirin. Sulap ini menyenangkan si tukang sulap itu sendiri. Sawah yang tadinya menjadi mata pencaharian bagi banyak petani, harus direlakan demi pembangunan perumahan.
Dulu, sector pertanian merupakan sector yang dominan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, kontribusi sector ini pada tahun 2000 adalah 15,6 %, sedangkan pada tahun 2014 menurun jadi sekitar 12,06% dari total PDB Indonesia. Pertumbuhan sektor pertanian juga sangat kecil jika dibandingkan dengan sector-sektor lainnya, yaitu 3,29% pada tahun 2014. Sementara sector-sektor lainnya sudah mencapai angka di atas 5% untuk pertumbuhannya.
Sangat ironis, ketika melihat tenaga kerja yang bekerja berdasarkan sembilan sektor yang sama di PDB, paling banyak tenaga kerja yang bergantung pada sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor ini adalah 34% dari total tenaga kerja keseluruhan. Sangat tidak seimbang antara produksi yang dihasilkan dengan jumlah orang yang menggantungkan hidup pada sektor tersebut.
Jadi, Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia (yang dihitung dari total produksi 9 sektor yang menyusun PDB) tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun tetapi mayoritas rakyat Indonesia tidak merasakan dampak positif. Rumah-rumah yang dibangun di areal persawahan tentu tidak mampu dijangkau harganya oleh para petani. Jadi wajar saja, petani Indonesia masih kurus dan tirus.
Pelebaran jalan juga marak dilakukan atas nama pembangunan. Banyak rumah yang digusur karena pemerintah akan membangun jalan atau memperlebar jalan. Lagi-lagi rakyat miskin harus berkorban dan menanggung rugi. Jalan-jalan yang kokoh dan lebar itu tidak dapat mereka nikmati.
Jalan itu hanya untuk mereka yang punya kenderaan bermotor. Orang miskin hanya dapat polusi udara dan polusi suaranya. Polusi udara yang membuat suhu semakin tinggi, yang merasakan dampaknya adalah mereka yang miskin. Orang kaya duduk manis dalam mobil terlindungi dari terik matahari. Padahal, pelebaran jalan akan terus dilakukan karena pertumbuhan jumlah kendaraan lebih cepat dari pertambahan volume jalan. Wajar saja kalau rakyat miskin kota tetap kurus dan tirus. Tiap hari memakan polusi kendaraan dan menantang panasnya sinar matahari.
Bentuk pembangunan lainnya yang sedang marak adalah pembangunan apartemen dan pusat perbelanjaan. Agar berjalan dengan maksimal, pembangunan jenis ini memang harus gencar dipromosikan. Tidak tanggung-tanggung, promosi melalui tv swasta yang dilakukan secara rutin sejak beberapa tahun belakangan. Kira-kira bunyi iklannya seperti ini “ayo segera beli apartemen X. Lokasinya sangat strategis dekat dengan bandara, pusat kota. Apalagi, dalam waktu ke depan Anda dapat menjual dengan harga yang lebih tinggi!”.
Jadi, wajar saja kalau penonton berasumsi bahwa apartemen itu masih belum dihuni oleh manusia. Ada berapa banyak apartemen yang sedang dibangun di kota-kota besar dan berapa banyak ruang-ruang kosong yang dihuni oleh mahluk tak berwujud. Tanah tempat berdirinya apartemen itu sebelumnya adalah tanah berdirinya rumah-rumah rakyat yang digusur dan dibeli dengan harga murah.
Fenomena housing bubble pernah terjadi di Amerika, di mana orang membeli rumah pada tahun x kemudian menjualnya beberapa tahun kemudian (persis seperti yang disarankan oleh developer melalui promosi di TV) dengan harga yang tinggi. Kenaikan harga bisa lebih dari 100% dari harga beli pertama kali. Tentu banyak orang yang tertarik menjalankan bisnis ini, dan akhirnya perputaran uang di bank habis untuk bisnis perumahan. Pada titik tertentu harga apartemen terlalu mahal dan orang menjadi enggan untuk membeli rumah. Pada titik ini lah gelembung itu pecah. Meskipun demikian, tetap saja rumah atau apartemen yang mewah tadi tidak layak diisi oleh orang miskin. Lebih baik mahluk tidak berwujud yang mengisi ruang-ruang kosong tersebut.
Dalam buku Justice Not Greed yang diterbitkan oleh World Council of Chruches, Musa Panti Filibus mengatakan krisis yang terjadi dalam proses pembangunan adalah karena adanya ketamakan. Ketamakan mendorong orang untuk merampas hak yang lemah. Dalam buku yang sama Metropolitan Geevarghese Mor Corilos menyampaikan bahwa kedaulatan Tuhan diganti menjadi kedaulatan Mamon (modal). Uang menjadi penentu segala hal termasuk relasi antar manusia. Gambaran kemiskinan yang terjadi karena segelintir manusia penguasa modal menuhankan uang itu sendiri, fokus hidup dan kekhawatiran akan masa depan dijawab dengan ketamakan,dengan memperkaya diri sendiri.
Prinsip teguh yang dianut oleh William Wilberforce, seorang politisi Inggris pada akhir abad 18 sampai awal abad 19, patut untuk direfleksikan. Pada masa itu, perbudakan kulit hitam merupakan sesuatu yang legal dan sangat banyak yang mengambil keuntungan dari perbudakan. Budak-budak dipekerjakan di kebun-kebun yang berada di tanah jajahan Inggris. Tentu keberadaan budak ini sangat menunjang ekonomi kerajaan pada saat itu.
Namun Wilberforce menolak perbudakan. Dia berpendapat bahwa manusia diciptakan sama, sama-sama seturut gambar Tuhan. Artinya setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Tidak pantas banyak orang dikorbankan untuk kebaikan segelintir orang atau sebaliknya, karena manusia diciptakan sesuai gambar Tuhan.
Tidak ada alasan bagi siapapun untuk melakukan dehumanisasi terhadap manusia lainnya, sekalipun itu alasan (berkedok) pembangunan!
Penulis adalah Pengurus Pusat GMKI MB 2014-2016
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...