70 Tahun Merdeka, Tionghoa Kampung Maruga Nikmati Kebebasan Beribadah
TANGSEL, SATUHARAPAN.COM - Tersembunyi di balik perumahan-perumahan modern yang baru berdiri maupun sedang dibangun, Kampung Maruga belakangan ini semakin mudah diakses. Jalan selebar kurang lebih dua meter menuju ke perkampungan yang berada di Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong, Tangsel itu, kini sudah diaspal. Hanya saja aspal mulus terputus sampai ke jalanan di depan kompleks perumahan. Semakin mendekati Maruga, semakin kecil jalan itu, semakin kurang rata pula.
Kampung Maruga dihuni kurang lebih 200 keluarga. Sebanyak 90 persen adalah etnis Tionghoa, yang secara turun-temurun sudah bermukim di sana sejak puluhan tahun lalu, sebelum Indonesia merdeka. Yang kini menjadi penghuni kampung itu paling tidak sudah merupakan generasi keempat, bahkan lebih.
"Kakek saya tinggal di sini sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi sebelum kakek, sudah ada warga Tionghoa di sini. Kuburan orang yang pertama tinggal di sini masih ada, tapi tidak ada nisannya, cuma gundukan tanah," kata Han Hengki, 32 tahun, ketika ditemui satuharapan.com di kampung itu Rabu (12/8).
Hengki, yang saat ini bekerja sebagai staf honorer di Kanwil Departemen Agama Provinsi Banten, dengan terbuka dan sedikit bangga menjelaskan bahwa Han adalah marga Tionghoanya, Hengki nama panggilannya. Kuburan yang dia maksud, adalah pekuburan Tionghoa di desa itu. Satuharapan.com sempat mengunjungi tempat itu dan mengabadikan foto makam tanpa nisan yang dia maksud.
Bila sering mendengar kalimat bahwa tidak semua orang Tionghoa itu konglomerat, saudagar kaya, atau pegawai bank ternama, di Maruga kita dapat dengan mudah menemukan buktinya. Sebagian besar penduduk Maruga bekerja di sektor swasta. Ada yang sebagai pedagang kecil, buruh, supir, tukang masak di restoran hingga tukang cuci.
Sampai satu dekade lalu, masih banyak penduduknya yang berpendidikan hanya sampai sekolah dasar. Ditekan oleh faktor ekonomi, banyak orang tua merasa pendidikan tidak terlalu penting. "Yang penting bisa cari duit dulu, Habis, biaya sekolah mahal," kata Tahe Thiannio, 62 tahun.
Almarhum suami Tahe Thiannio semasa muda bekerja sebagai pedagang di pasar Ciputat. Dengan itulah mereka membiayai hidup enam orang anaknya, yang kini sudah berkeluarga semua. Mereka tinggal di lahan yang dulu diwariskan oleh orang tua mereka. Saudara-saudara suaminya tinggal di rumah-rumah yang dibangun saling berdekatan.
"Ya, seadanya saja, tetapi lahan ini sudah bersertifikat hak milik," kata dia, ketika ditemui di rumahnya, yang persis bertetangga dengan klenteng Makin Maruga. Salah seorang cucunya kini tinggal bersamanya, menempuh pendidikan di SMK.
Bebas Membangun Rumah Ibadah
Di Kampung Maruga kini berdiri setidaknya empat rumah ibadah. Satu gereja, yakni Gereja Gerakan Pentakosta (GGP) dua rumah doa, dan satu klenteng. Gedung GGP paling strategis, terlihat jelas dari pinggir jalan, dengan tanda salib yang dipasang cukup besar.
Sayangnya, ketika satuharapan.com mendatangi rumah ibadah itu pada Rabu (12/8) dan Kamis (13/8), di sana tidak sedang ada kegiatan dan pintu pagarnya terkunci. Seorang pria keluar dari rumah yang berada persis di samping gereja, dan menyambut satuharapan.com dengan menanyakan apa keperluannya.
Ketika kepadanya disampaikan bahwa satuharapan.com ingin mewawancarainya tentang keberadaan gereja itu serta bagaimana kemajuan kebhinnekaan menurut pendapat dia, pria itu segera menjaga jarak. "Kebetulan kepala saya agak pusing hari ini dan masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Lagipula, ibu saya tidak ada yang menjaga," tutur dia, yang mengaku tidak menganut agama apa pun. Ia menyarankan agar satuharapan.com mendatangi pendeta Yoseph Widjaja, pendeta di gereja yang satunya lagi di Kampung Maruga.
Selain GGP yang berdiri strategis di pinggir jalan, dua rumah doa lainnya tampak berdempetan dengan rumah warga. Salah satunya rumah doa GBI Exousia, Maruga, yang seperti bersembunyi di belakang sebuah rumah besar. Demikian juga dengan klenteng Pakin Maruga. Ia dihimpit oleh beberapa rumah penganut Konghucu yang jadi umatnya.
Mayoritas warga Kampung Maruga menganut agama Kristen Protestan, sebagian lagi penganut Konghucu dan ada satu dua yang beragama Islam. Bila di desa-desa yang bertetangga dengan Maruga masih banyak umat yang belum berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan rumah ibadah, di Maruga masalah itu tampaknya tidak ada.
"Kalau mengenai mendirikan rumah ibadah, tidak pernah ada masalah. Warganya kompak," kata Liem Yani Kristina, seorang ibu rumah tangga.
"Ibarat kata, tidak ada penduduk kampung lain yang ikut campur urusan sini, karena kita juga tidak ikut campur urusan di sana. Lagipula kita orangnya berbaur. Kalau 17 Agustusan kita ikut gabung dengan RW," kata Yani Kristina.
Hal yang sama dikatakan oleh Nuraini Hutagalung, istri dari pendeta Yoseph Widjaja yang menjadi gembala sidang pada GBI Exousia, Maruga. Menurut dia, sejauh ini rumah doa yang mereka kelola cukup bebas melaksanakan ibadah, bahkan dengan iringan musik lengkap. Di dalam ruangan gereja, tampak satu set peralatan band.
"Dulu kolam baptis malahan kita bikin di dalam gereja di dekat mimbar, tetapi sekarang kita buat di luar gereja. Itu atas saran dari RW," tutur dia.
GBI Exousia memiliki sekitar 100 anggota jemaat. Sebagian besar adalah warga kampung Maruga tetapi ada juga satu dua dari luar wilayah tersebut. Gedung gereja yang berdiri secara resmi pada tahun 2000 itu, menurut Nuraini, dibangun dengan melibatkan para pekerja dari daerah setempat, termasuk dari kalangan penduduk Muslim. Ketika diresmikan, kata Nuraini, pengurus RW hadir.
Pendeta Yoseph Widjaja sudah mulai melakukan pelayanan di wilayah itu pada tahun 1990-an. Rumah mereka, sebelumnya, berada di perumahan di dekat Kampung Maruga. Menurut Nuraini, dulu keluhan penyakit yang umum dirasakan masyarakat di sana adalah sesak nafas. Lalu mereka diundang untuk ikut beribadah. "Setelah didoakan, banyak yang sembuh," tutur Nuraini.
Nuraini menambahkan, ketika ia pertama kali datang ke Maruga, ia cukup heran karena tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah. Kelihatannya mereka tidak memperdulikan itu karena masalah biaya. Namun, kata Nuraini, melalui pelayanan gereja, diberikan penyadaran bahwa dengan doa kepada Tuhan apa pun yang kita minta dengan sungguh-sungguh akan dikabulkan, termasuk biaya pendidikan. Oleh karena itu, para orang tua didorong untuk menyekolahkan putra-putrinya.
Saat ini, kata Nuraini, pendidikan anak-anak jemaat sudah membaik. "Sudah banyak yang sampai S-1. Sudah ada yang jadi pramugrari," kata Nuraini.
Kemajuan lainnya, para remaja dan pemuda-pemudi warga jemaat semakin rajin berorganisasi dan menjalankan pelayanan. Mereka tidak lagi hanya melayani di Maruga, tetapi ke gereja-gereja lain. "Mereka tampaknya senang juga berfellowship bersama-sama," kata Nuraini.
Oei Mandra, salah seorang warga yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang, mengatakan motivasi lain kenapa banyak warga yang ikut beribadah di gereja dan kemudian menganut agama Kristen.
"Sebab, kalau menikah di gereja tidak perlu bayar. Kalau ke Catatan Sipil harus bayar. Belum lagi sering dipersulit dalam mengurus surat-surat," kata Oei Mandra, ketika ditemui di rumahnya yang sederhana di Maruga.
Sementara itu Tahe Thiannio, dengan wajah berseri menyatakan rasa terimakasihnya kepada Almarhum Gus Dur, presiden RI ke-4. Menurut dia, berkat jasa beliau, kini mereka memiliki rumah ibadah penganut Konghucu, yaitu klenteng Makin Maruga. "Dulu mana boleh, sekarang jadi boleh," kata dia.
Hal yang sama dikemukakan Oei Mandra. "Karena beliau makanya Imlek jadi tanggal merah. Sebelumnya tidak," tutur pria itu.
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...