8.000 Orang Papua Ditangkap karena Berbeda Pandangan Politik
MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM - Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari dalam catatan akhir tahunnya tentang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua mengungkapkan selama tahun 2016 tercatat 8.000 orang Papua ditangkap, dianiaya serta ditahan dan diproses secara hukum, karena menyampaikan pandangan politik yang berbeda secara damai. Mereka berada di sejumlah kota besar di Tanah Papua seperti di Jayapura, Wamena, Merauke, Timika, Nabire, Serui, Biak, Manokwari, Sorong dan Fakfak serta beberapa kota besar di luar Papua seperti Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, Makassar dan Manado.
"LP3BH mencatat bahwa pelanggaran HAM terus meningkat secara signifikan di Tanah Papua dalam konteks pengekangan dan pemasungan terhadap hak kebebasan berpendapat (right to freedom of speech), hak kebebasan berekspresi (right to freedom of expresion) serta hak kebebasan berserikat dan berkumpul (right to freedom of assembly)," demikian salah satu butir catatan akhir tahun LP3BH Manokwari, yang disampaikan oleh direktur eksekutifnya, Yan Christian Warinussy, kepada satuharapan.com hari ini (30/12).
Catatan ini berkebalikan dengan harapan LP3BH saat pertama kalinya Presiden Joko Widodo memerintah. "Presiden Joko Widodo memang memulai langkah positif dengan niat dan juga janji akan menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights) di Tanah Papua," kata Yan. Tujuannya saat itu untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia.
Jokowi juga sempat menjanjikan membuka akses bagi jurnalis asing memasuki Tanah Papua. "Tetapi sayang kebijakan berbentuk pernyataan tersebut tidak sekalipun ditindak-lanjuti dengan regulasi tertentu. Sehingga hingga kini dampaknya adalah tak ada jurnalis asing yang bisa secara bebas dan imparsial masuk dan mempublikasikan situasi riil di Tanah Papua ke dunia internasional secara transparan dan bertanggung jawab," tulis Yan.
LP3BH Manokwari juga menilai pemberian amnesti kepada tahanan politik (tapol) maupun narapidana politik (napol) sama sekali tidak berdampak pada tidak terulangnya pelanggaran HAM di bumi Cenderawasih ini. LP3BH mencatat bahwa pelanggaran HAM terus meningkat secara signifikan di Tanah Papua. Pelanggaran itu antara lain dalam konteks pengekangan dan pemasungan terhadap hak kebebasan berpendapat (right to freedom of speech), hak kebebasan berekspresi (right to freedom of expresion) serta hak kebebasan berserikat dan berkumpul (right to freedom of assembly).
"Fakta menunjuk pada masih terjadinya penggunaan pendekatan keamanan yang lebih mengedepankan anasir kekerasan dalam menyikapi setiap aksi damai dari rakyat Papua yang senantiasa menyampaikan pendapat dan pandangan politik berbeda mengenai sejarah politik integrasi Tanah Papua maupun tuntutan atas kesempatan memperoleh hak menentukan nasib sendiri (right to self determination)," bunyi salah satu poin catatan akhir tahun LP3BH Manokwari.
LP3BH Manokwari menilai situasi HAM di Papua sudah kritis dalam konteks penghormatan dan perlindungan atas hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan berekspresi serta hak kebebasan berserikat dan berkumpul yang sangat dipasung oleh pemerintah Indonesia sepanjang 10 tahun terakhir. Pemasungan itu dilakukan dengan mengggunakan kekerasan serta pembungkaman demokrasi melalui penerapan pasal-pasal Makar 106 dan 110 KUH Pidana maupun pasal 160 KUH Pidana mengenai penghasutan dan mengganggu ketertiban umum.
LP3BH Manokwari mencatat tidak pernah tampak adanya tindakan hukum yang adil, tegas dan imparsial oleh institusi TNI maupun Polri yang atas aparatnya yang terlibat tindakan kekerasan berdimensi pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil di Tanah Papua hingga akhir tahun ini.
"Sehingga semakin memupuk terus impunitas aparat negara yang diduga keras melakukan kekerasan berdimensi pelanggaran HAM tanpa pernah diproses hukum di Tanah Papua," lanjut LP3BH Manokwari.
Upaya pemerintah dalam memberi dukungan politik yang penuh dan tegas bagi upaya pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang Berat di Tanah Papua seperti kasus Wasior (2001), Wamena (2003) dan Paniai (2014) juga dinilai kurang. Padahal, dukungan politik dari Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi sangat relevan dan urgen demi penyelesaian hukum atas ketiga kasus tersebut sesuai mekanisme yang diatur di dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Presiden harus mengeluarkan keputusan hukum yang tegas guna menghentikan pola pendekatan keamanan yang sudah terbukti bersifat klasik, ketinggalan jaman, tidak pro demokrasi dan berpotensi melanggar HAM sepanjang lebih dari 50 tahun di Tanah Papua," kata Yan.
"Pemberian label separatis bagi gerakan damai rakyat Papua yang dimotori kaum muda Papua dewasa ini hendaknya segera diganti dengan pola pendekatan damai yang lebih soft dan mengedepankan dialog sebagai media yang memberi penghargaan pada nilai-nilai kesetaraan dengan senantiasa menghormati setiap perbedaan pendapat secara demokratis," lanjut Yan.
Atas semua itu, LP3BH Manokwari mendesak pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi untuk segera melakukan demiliterisasi di Tanah Papua dan menghapuskan model pendekatan keamanan (security approach) dalam menyikapi situasi politik lokal dengan pendekatan damai dan dialogis.
Diserukan pula agar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang Berat seperti Wasior, Wamena, Paniai dan Sanggeng-Manokwari menjadi agenda utama bagi pemerintah Indonesia di tahun kerja 2017 mendatang sesuai aturan perundangan yang berlaku.
"LP3BH dan masyarakat sipil/adat di Tanah Papua tengah mempersiapkan langkah hukum untuk membawa keempat kasus tersebut ke jalur internasional, bilamana pemerintah Indonesia tidak dapat menunjukkan komitmen dan dukungan politik yang sungguh dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut," tutup Yan.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...