ABC: Perjanjian Australia-Timor Leste Bisa Picu Reaksi RI
CANBERRA, SATUHARAPAN.COM - Perjanjian perbatasan antara Australia dan Timor Leste dijadwalkan ditandatangani di markas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), di New York, besok (07/03).
Kesepakatan ini akan mengakhiri perselisihan lama antara kedua negara mengenai batas maritim mereka. Namun di sisi lain bisa memicu konflik baru, jika Indonesia mencoba menggunakan kesepakatan tersebut untuk menegosiasi ulang perbatasannya dengan Indonesia.
Ini merupakan laporan terbaru dari ABC News, menjelang ditandatanganinya kesepakatan perbatasan Australia-Timor Leste atau Timor Lorosa'e.
Menurut laporan yang ditulis oleh Anne Barker itu, dalam skenario terburuk untuk Australia - jika itu terjadi - Indonesia dapat mengklaim haknya atas cadangan minyak dan gas yang menguntungkan di Laut Timor.
Perjanjian maritim baru ini akan menarik batas permanen antara Australia dan Timor Lorosa'e untuk pertama kalinya, dan menetapkan formula untuk membagi miliaran dolar pendapatan di masa mendatang dari minyak dan gas di Laut Timor.
Rincian kesepakatan tersebut masih dirahasiakan sampai sekarang. Tapi diperkirakan mencakup batas di garis tengah - atau titik tengah - di antara kedua negara (yang telah lama diusulkan Australia), di tepi landas kontinennya yang membentang hingga 50 mil laut pantai selatan Timor Lorosa'e.
Perjanjian ini sangat penting bagi masa depan ekonomi Timor Leste mengingat ketergantungannya pada royalti minyak bumi yang semakin berkurang. Dengan berbasis pada batas garis median, Timor Leste dimungkinkan untuk mendapatkan hasil lebih besar dari ladang minyak dan gas Greater Sunrise, yang diperkirakan memberi penghasilan hingga U$ 64,5 miliar.
Pertanyaan tentang Perbatasan Australia-Indonesia
Namun, batas garis tengah (median) antara Australia dan Timor Lorosa'e dapat berimplikasi pada perbatasan Australia-Indonesia yang usianya sudah jauh lebih lama. Dan menurut ABC, ini adalah prospek yang harus dihindari oleh pemerintah Australia yang terus berlanjut.
Ketika pada tahun 2002 Timor Lorosa'e memperoleh kemerdekaan, Menteri Luar Negeri Australia saat itu, Alexander Downer, memperingatkan bahwa menetapkan ulang batas-batas maritim dengan Timor Lorosa'e akan berisiko "membongkar" ribuan kilometer batas yang telah lama ada antara Australia dengan Indonesia.
"Batas maritim kita dengan Indonesia mencakup beberapa ribu kilometer. Itu adalah masalah yang sangat, sangat besar bagi kita dan kita tidak dalam permainan menegosiasikan ulang hal itu," kata Downer kala itu.
Sekarang, 16 tahun kemudian, kemungkinan skenario itu dipandang tidak lagi terlalu mengada-ada. Dengan melihat peta batas maritim Australia dengan Indonesia dan Timor Lorosa'e, potensi masalah tersebut sudah terlihat.
Batas dasar laut Australia dengan Indonesia diselesaikan pada awal 1971, ketika sebagian besar batas laut Australia didasarkan pada landas kontinen, yang lagi-lagi melampaui batas rata-rata sehingga lebih dekat ke garis pantai Indonesia.
Tapi hukum internasional telah berubah sejak saat itu dan hari ini perbatasan yang lebih disukai adalah berdasarkan garis median, bukan landas kontinen.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 menetapkan bahwa "di mana pantai dua negara berlawanan atau berdekatan satu sama lain, kedua negara tidak berhak ... untuk memperluas laut teritorialnya melampaui garis tengah."
Itu berarti jika batas-batas maritim dengan Indonesia dinegosiasikan hari ini, akan terlihat sangat berbeda dan memberi hak Indonesia yang jauh lebih besar ke dasar laut.
Lebih penting lagi, ini bisa dikatakan memberi hak kepada Indonesia untuk berbagi ladang minyak Greater Sunrise.
Seiring dengan itu, garis median kemudian digunakan untuk menentukan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam sebuah perjanjian terpisah pada tahun 1997, sehingga hak penangkapan ikan di Indonesia sekarang jauh lebih jauh ke selatan daripada hak atas dasar laut (minyak dan gas).
Indonesia Belum Siap?
Sebenarnya, Indonesia tidak pernah meratifikasi perjanjian 1997, meski menghormatinya.
Namun, pakar hukum internasional Don Rothwell, dari Universitas Nasional Australia, percaya bahwa keputusan tersebut membuat pintu terbuka bagi Indonesia untuk berusaha menegosiasi ulang batasannya sendiri dengan Australia, dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Timor Lorosa'e.
"Karena Indonesia belum meratifikasi [perjanjian], hal itu memberi kesempatan kepada Indonesia untuk kembali meminta Australia meninjau ulang aspek-aspek tertentu dari perjanjian tersebut, terutama mengingat peraturan batas maritim yang telah disepakati degan Timor Lorosa'e, "kata Profesor Rothwell.
Selanjutnya ini dapat berimplikasi signifikan pada perbatasan maritim Australia dengan Indonesia, yang membentang dari Timor Barat hingga sepanjang perbatasan dengan Laut Jawa dan dengan Samudra Hindia.
Menurut ABC, yang paling mungkin diperdebatkan adalah batas-batas "lateral" yang berada tegak lurus dengan garis tengah antara Australia dan Timor Lorosa'e.
Greater Sunrise terletak di atas batas lateral timur, sangat dekat dengan perbatasan Australia-Indonesia yang saat ini ada. Jika Indonesia memilih untuk mengejar isu ini, mungkin ada implikasi yang signifikan terhadap kedaulatan maritim Australia, dan hak atas Greater Sunrise.
"Saya pikir [Indonesia] akan mengatakan bahwa Australia telah siap untuk secara efektif menggarisbawahi batas-batas ini dengan Timor Lorosa'e. Dan, jika Australia sudah siap bernegosiasi dengan Timor Leste, Indonesia akan bertanya, mengapa Australia tidak mau menegosiasi ulang perbatasannya dengan Indonesia yang sudah usang?," kata Profesor Rothwell.
"Yang kemudian akan menciptakan kompleksitas yang cukup besar adalah karena yang terjadi adalah negosiasi tiga arah mengenai bagaimana area dasar dasar laut itu harus dirundingkan."
Profesor Rothwell mengatakan Australia tidak diragukan lagi akan berusaha membuat pejabat Indonesia tidak terpengaruh oleh perundingan batas yang sedang berlangsung antara Australia dengan Timor Leste.
Dia menambahkan, bahwa pejabat Indonesia sampai sekarang belum siap untuk membuat secara tertulis sikap mereka perjanjian baru dengan Timor Leste.
"Lagipula, ada prinsip umum dalam hukum internasional bahwa perbatasan harus dihormati, dan tidak bisa digambar ulang. Dan perjanjian itu, setelah rampung, harus diterima. Negara-negara terikat oleh perjanjian dengan itikad baik," kata Rothwell.
Menjadi pertanyaan bagaimana itikad baik itu ketika dihadapkan pada cadangan minyak dan gas bernilai miliaran dolar. Akankah akan tetap teguh atau mulai bergeser?
ABC mencoba mendapatkan komentar pemerintah RI, tetapi belum mendapatkan jawaban.
Editor : Eben E. Siadari
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...