Abdul Munir Mulkhan: Pendidikan Multikultural Adalah Kesalehan dalam Aksi Kemanusiaan
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM - Tidak mudah menyandingkan pendidikan multikultural dengan pendidikan agama, bila kesalehan hanya dilihat dari indikator ritual simbolik semata. Kesalehan tidak cukup hanya pada keimanan dan ritual formal, melainkan harus terkait aksi kemanusiaan tanpa melihat simbol keagamaan, demikian ditegaskan Abdul Munir Mulkhan dalam paparan “Pendidikan Kesalehan Multikultural dalam Kehidupan Keluarga dan Praktik Pendidikan di Indonesia” yang dibawakan dalam Seminar dan Lokakarya Agama-agama (SAA) XXX di Tangerang, Selasa (23/9).
Abdul Munir dalam presentasinya mengatakan pendidikan keagamaan sering kali terjebak perangkap kognisi kuantitatif simbolis, sedangkan kesalehan yang cenderung simbolik dan mekanis sering disebabkan adanya dominasi syariah atau fikih yang berselingkuh dengan kekuasaan politik.
Metodologi kesalehan multikultural di dalam agama Islam, menurut Abdul Munir, bisa ditemui dalam firman Surat Al-Ma’un, saat Tuhan mengkritik orang yang rajin salat tetapi gagal memihak kaum tertindas, teraniaya, dan diperlakukan tidak adil.
“Bila seseorang rajin salat tetapi tidak peduli kepada sesama, ini sama dengan pembohongan pada Tuhan,” kata Abdul Munir Mulkan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakata dan menjabat Komisioner Komnas HAM-RI 2007-2012.
Dalam pengalaman sebagai pengurus organisasi Muhammadiyah, Abdul Munir mengatakan, “Surat Al-Ma’un ini bagai terjemahan Firman Tuhan itu sendiri. Kalau Tuhan berkehendak dan kita peduli, merawat, dan menyantuni, bukan karena ingin orang lain menjadi muslim atau muhammadiyah, kita melakukan itu semata-mata karena kemanusiaan.”
Kurikulum Pendidikan 2013
Menanggapi kelemahan dan kekeliruan fundamental dalam Kurikulum 2013 yang oleh beberapa pengamat pendidikan diberi istilah “terjadinya spiritualisasi semua mata pelajaran”, Abdul Munir kepada satuharapan.com berpendapat, “Saya menangkap ada keinginan dari pemerintah agar agama mempunyai peran lebih untuk membentuk karakter bangsa dengan cara mem-breakdown agama menjadi nilai-nilai kunci menjadi pengembangan karakter yang lebih terjamin.”
Kesulitan dalam Kurikulum Pendidikan 2013 yang muncul kemudian adalah dalam hal menerjemahkan hal-hal religius menjadi indikasi kuantitatif, sehingga hasil yang didapatkan sering kali menjadi rancu karena indikator yang sangat ritualistik dan reduktif, kata Abdul Munir. Kesulitan ini juga dikarenakan pendidikan berada dalam ranah afeksi (sikap) dan bukan semata masalah kognisi (pengetahuan), lanjut Abdul Munir.
Spiritualitas dalam kurikulum hanya dilihat dari indikator seperti siswa berdoa sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran, siswa dapat bersyukur atas anugerah bahasa Indonesia. “Bagaimana menilai rasa syukur seperti ini?” kata Abdul Munir mengkritisi pendidikan dalam Kurikulum 2013. Menurut Abdul Munir, hal-hal seperti itu hanya membuat agama terkapitalisasi sebagai tindakan yang materialistik, sehingga spiritualitas nyaris tidak ada lagi.
Garden Learning Pengajaran Agama
Abdul Munir selanjutnya memberikan suatu usulan pembelajaran pendidikan multikultural yang dilakukan dengan cara belajar bersama merumuskan spiritualitas dalam pengertian religiusitas dan bukan sekadar kompetensi. Usul demikian disampaikan, bahkan bila perlu guru-guru agama secara bersama-sama berkumpul dan merumuskan religiusitas.
Dalam suatu pertemuan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta yang berupaya mengajarkan agama islam, Abdul Munir mengusulkan metodologi semacam garden learning. Pengajaran tidak hanya di kelas, tetapi dosen turun dan menyatu dengan kehidupan mahasiswa, datang ke kos dan seterusnya, karena inti pelajaran agama Islam adalah penyadaran akan Tuhan, tidak sekadar kognisi. Mengajarkan kognisi lebih mudah ketika penyadaran sudah ada, barulah kemudian diperlengkapi dengan prasarana seperti perpustakaan.
Dengan agama-agama lain, prinsip garden learning itu bisa diperluas dengan agama-agama lain dalam kebersamaan pengajaran. Dalam buku yang ditulis Abdul Munir, Satu Tuhan Seribu Tafsir, dijelaskan ada kesamaan pemahaman akan Tuhan, baik yang ada dalam pemikiran agama Islam, Kristen, ataupun agama lain.
"Kuncinya, ajaran agama tidak pernah bisa ditafsirkan secara final, tetapi terus-menerus harus ada reinterpretasi, bila tidak orang beragama bisa menjadi orang yang paling menderita," kata Abdul Munir yang mengingatkan ketika gereja menghakimi Galileo dan Newton.
"Agama yang dinamis itu Indah, bila agama bisa merespons perubahan temuan-temuan baru," Abdul Munir berpendapat.
Dalam hal ini, dia pernah melontarkan wacana Rukun Islam yang keenam, yakni kemanusiaan. Hal ini dirumuskan setelah melihat fenomena ketika semakin saleh tidak manusiawi, sebuah anggapan yang salah ketika dekat dengan Tuhan, tetapi tidak peduli dengan manusia.
"Semakin saleh seseorang, seharusnya semakin manusiawi," demikian kata Abdul Munir.
Editor : Sotyati
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...