Acara Gulat Tradisional di Afghanistan
KABUL, SATUHARAPAN.COM-Dalam kepulan debu, dua pria melingkarkan tangan satu sama lain dengan waspada sebelum salah satu terjungkal, meraih pakaian saingannya, dan setelah perjuangan singkat, dengan cekatan menjatuhkan lawannya ke tanah.
Kerumunan orang, berbaris dalam lingkaran di sekitar mereka, beberapa duduk di tanah, yang lain berdiri atau memanjat untuk melihat lebih baik di sebuah taman di ibu kota Afghanistan, Kabul, dan bersorak sorai. Pemenang dan yang kalah tersenyum ramah, berpelukan sebentar sebelum beberapa penonton memberikan uang kertas ke tangan pemenang.
Adegan itu dimainkan setiap pekansetelah salat Jumat di taman Chaman-e-Huzori yang luas di pusat kota Kabul, di mana para pria, terutama dari provinsi utara Afghanistan, berkumpul untuk menonton dan bertanding dalam gulat tradisional.
Meskipun Taliban, yang mengambil alih Afghanistan pada pertengahan Agustus, sebelumnya telah melarang olah raga ketika mereka memerintah negara itu pada tahun 1990-an, gulat tradisiobal yang dinamai pahlawani telah dikecualikan bahkan saat itu. Sekarang, lebih dari tiga bulan memasuki pemerintahan baru mereka di negara itu, beberapa polisi Taliban menghadiri pertandingan Jumat sebagai penjaga keamanan.
Pertandingan ini diatur secara sederhana. Tidak ada arena selain lingkaran luas yang dibentuk oleh penonton. Para pesaing, bertelanjang kaki, semuanya menggunakan tunik yang sama, satu biru dan satu putih, berpindah dari satu atlet ke atlet berikutnya untuk setiap pertandingan. Setiap peserta mewakili provinsinya, dengan nama dan provinsi diumumkan kepada penonton oleh wasit.
Setiap pertandingan memiliki empat putaran, dan pemenangnya adalah yang pertama dapat membalikkan lawannya ke punggungnya. Seorang wasit memimpin, sementara hakim di antara kerumunan memberikan vonis mereka dalam kasus-kasus ketika tidak ada pemenang yang jelas.
“Kami menyediakan fasilitas ini agar orang-orang kami dapat menikmatinya,” kata Juma Khan, hakim dan wakil direktur acara pada Jumat (2/12) lalu, Juma Khan, 58 tahun. Dia seorang penjaga keamanan di pasar pada siang hari, mantan atlet gulat, dan telah menjadi juri kompetisi selama 12 tahun terakhir. Sama seperti ayahnya, dan kakeknya, dan kakek buyutnya sebelum dia. “Itu budaya kami.”
Sebagian besar atlet dan penonton menghabiskan dua hingga tiga bulan di ibu kota Afghanistan untuk bekerja, sebagai pekerja kasar atau di hotel, restoran, dan pasar, sebelum kembali ke rumah untuk keluarga mereka selama beberapa pekan.
Pahlawani menyediakan beberapa jam hiburan yang sangat dinanti. Orang-orang berkumpul di lapangan yang berdebu, yaitu taman Chaman-e-Huzori sekitar pukul 14:00 siang, setiap hari Jumat dan berlangsung sampai matahari terbenam, dengan sekitar 10 hingga 20 pemuda maju dari kerumunan untuk bertanding.
Kemudian, saat matahari terbenam di balik bukit Tapai Maranjan di latar belakang, para pegulat selesai. Dalam sekejap mata, saat debu mengepul berputar di sekitar becak yang melaju kencang, klakson mereka dibunyikan, kerumunan itu mencair untuk kembali sepekan lagi. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...