Adakah Kristus Terbagi-bagi?
Gereja dapat menjadi teladan dalam hidup berbangsa yang makin terkotak-kotak ini.
SATUHARAPAN.COM – ”Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?” (1Kor. 1:13). Serangkaian pertanyaan retorik ini merupakan tanggapan Paulus atas perselisihan yang terjadi di jemaat Korintus.
Pada masa itu Korintus merupakan kota pelabuhan penting dan ramai. Menurut John Drane, dalam bukunya Memahami Perjanjian Baru, di jalan-jalan kota Korintus, prajurit-prajurit Roma, para mistikus dari Timur, orang Yahudi dari Palestina selalu bertemu dengan para filsuf Yunani.
Orang-orang dengan latar belakang rohani dan intelektual yang beragam itu juga membawa pandangan dan gagasan mereka ketika mereka membentuk jemaat di Korintus. Sewaktu Paulus bersama mereka, keragaman jemaat muda itu bisa dipersatukan. Namun, sejak kepergian Paulus, pandangan dan gagasan kelompok mulai mengemuka dan menjadi masalah kala suatu kelompok menganggap diri paling benar.
Jemaat akhirnya terbagi-bagi dalam: ”kelompok Paulus”—kaum liberal—yang mengajak warga jemaat berbuat sesuka hati; ”kelompok Kefas”— kaum legalis—yang mempersoalkan makanan halal dan haram; ”kelompok Apolos”— kaum filsuf—yang merasa memiliki hikmat; dan ”kelompok Kristus”—kaum mistikus—yang menyatakan bahwa sakramen-sakramen bersifat adikodrati.
Mengarah ke Kristus
Menarik disimak, di awal suratnya itu Paulus tidak menempatkan diri sebagai hakim atas kelompok yang berselisih. Dia tidak menyalahkan atau membenarkan pendapat, namun mengajak mereka mengarahkan pandang kepada Kristus.
Kekristenan, mengutip Dietrich Bonhoeffer, sejatinya persekutuan melalui dan dalam Yesus Kristus. Dalam Kristus, persekutuan merupakan keniscayaan mutlak karena Kristus memang tidak terbagi-bagi. Oleh karena itu, absurdlah tindakan membuat garis pemisah di antara sesama Kristen.
Lagi pula, lanjut Bonhoeffer, persekutuan Kristen bukanlah suatu ideal, tetapi kenyataan ilahi; persekutuan Kristen merupakan kenyataan rohani, bukan psikologis. Dengan kata lain, persekutuan Kristen merupakan karya Allah.
Sehati Sepikir
Selanjutnya, Paulus menasihati mereka yang bertikai agar sehati sepikir. Hati dan pikir merupakan inti kemanusiaan. Hati berkaitan dengan rasa, pikir berkaitan dengan logika. Paulus tidak menekankan salah satu: sehati saja atau sepikir saja. Bukan ini atau itu, namun keduanya sekaligus.
Hanya rasa, akan membuat seseorang takut mengajukan pendapat yang menyinggung orang lain. Hanya logika, mungkin membuat orang lain sungguh-sungguh tersinggung. Oleh karena itu, Paulus menasihati mereka untuk mengupayakan kesehatian dan kesepikiran.
Sewaktu rasa menguasai diri, baiklah pikiran mengendalikannya. Sebaliknya, sebelum mengajukan kritik (yang biasa muncul dari pikiran), baiklah hati bertanya, ”Bagaimana menyampaikannya?” Ketakarifan sering membuat pesan, sebaik apa pun, tak sampai.
Sehati sepikir berarti juga memercayai kejernihan pikir dan kebersihan hati orang lain! Dan hanya dengan cara itulah, gereja dapat menjadi teladan dalam hidup berbangsa yang makin terkotak-kotak ini.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...