ADB: Perubahan Iklim yang Diabaikan Ancam Pembangunan Asia
MANILA,SATUHARAPAN.COM — Perubahan iklim yang dibiarkan tanpa dicegah akan membawa konsekuensi berat bagi negara-negara di Asia dan Pasifik. Ia dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan di masa depan, membuat hasil pembangunan yang telah dicapai menjadi sia-sia, dan menurunkan kualitas hidup.
Demikian ungkap laporan yang dibuat oleh Asian Development Bank (ADB) dan Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, hari ini (14/07).
Jika tidak ada tindakan yang diambil terhadap perubahan iklim, diproyeksikan akan terjadi kenaikan suhu sebesar 6 derajat Celsius di seluruh daratan Asia pada akhir abad ini. Beberapa negara dapat mengalami iklim yang jauh lebih panas, dengan proyeksi kenaikan suhu hingga 8 derajat Celsius di Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan wilayah barat laut Republik Rakyat Tiongkok (RRT), menurut laporan yang berjudul “A Region at Risk: The Human Dimensions of Climate Change in Asia and the Pacific.”
Kenaikan suhu ini akan membawa perubahan drastis di kawasan tersebut. Termasuk pada sistem cuaca, sektor pertanian dan perikanan, keanekaragaman hayati darat dan laut, keamanan domestik dan regional, perdagangan, pembangunan perkotaan, migrasi, dan kesehatan. Skenario seperti ini bahkan dapat mengancam eksistensi sejumlah negara di kawasan tersebut, dan menghancurkan harapan apa pun untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
“Krisis iklim global dapat dikatakan sebagai tantangan terbesar yang dihadapi peradaban manusia pada abad ke-21, dan kawasan Asia-Pasifik berada di pusaran krisis tersebut,” kata Bambang Susantono, Wakil Presiden ADB bidang Manajemen Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan.
“Sebagai kawasan yang dihuni dua per tiga penduduk miskin dunia, dan dipandang sebagai salah satu kawasan yang paling rentan terhadap perubahan iklim, negara-negara di Asia dan Pasifik memiliki risiko tertinggi untuk makin terjerumus dalam kemiskinan — dan bencana — jika upaya mitigasi dan adaptasi tidak dilaksanakan sesegera dan seserius mungkin.”
“Negara-negara di Asia memegang masa depan Bumi ini. Jika kawasan ini memilih untuk melindungi diri terhadap perubahan iklim yang berbahaya, hal itu akan membantu menyelamatkan seluruh Bumi,” kata Profesor Hans Joachim Schellnhuber, Direktur PIK.
“Ada dua tantangan yang saling berkaitan. Di satu sisi, emisi gas rumah kaca Asia harus dikurangi sedemikian rupa sehingga masyarakat global dapat membatasi pemanasan Bumi hingga jauh di bawah 2 derajat Celsius, sesuai kesepakatan tahun 2015 di Paris. Namun, sekadar untuk beradaptasi dengan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius adalah tugas yang amat berat.”
“Sehingga di sisi lain, negara-negara Asia harus mencari strategi untuk memastikan kemakmuran dan keamanan dalam kerangka pembangunan global yang sehat di tengah perubahan iklim yang tak terhindarkan,” lanjut Prof. Schellnhuber.
“Terbuka peluang ekonomi yang luar biasa jika Asia dapat memimpin revolusi industri bersih. Asia juga akan menjadi aktor penting dalam multilateralisme abad ke-21 jika dapat mengkaji strategi terbaik untuk menyerap guncangan perubahan lingkungan,” kata dia.
Guna meringankan dampak perubahan iklim, laporan ini menggarisbawahi pentingnya melaksanakan berbagai komitmen yang dijabarkan dalam Kesepakatan Paris. Komitmen-komitmen tersebut mencakup investasi publik dan swasta yang berfokus pada dekarbonisasi perekonomian Asia dengan cepat, sekaligus pelaksanaan langkah-langkah adaptasi untuk melindungi populasi yang paling rentan di kawasan ini.
Upaya mitigasi dan adaptasi iklim juga harus diarusutamakan ke dalam strategi pembangunan regional tingkat makro dan perencanaan proyek tingkat mikro di semua sektor, selain upaya inovasi teknologi dan energi terbarukan yang sedang berjalan bagi infrastruktur dan transportasi perkotaan.
Laporan ini menyimpulkan bahwa kawasan Asia dan Pasifik memiliki kemampuan dan pengaruh untuk menempuh jalur pembangunan yang berkelanjutan, menekan emisi global, dan mendorong adaptasi.
ADB menyetujui US$ 3,7 miliar dalam pembiayaan iklim pada 2016, sebuah rekor baru, dan berkomitmen untuk terus meningkatkan investasinya menjadi $6 miliar pada 2020.
ADB, yang berbasis di Manila, dikhususkan untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan integrasi kawasan. Didirikan tahun 1966, ADB telah menandai 50 tahun kemitraan pembangunan di kawasan ini. ADB dimiliki oleh 67 anggota—48 di antaranya berada di kawasan Asia dan Pasifik. Pada 2016, total bantuan ADB mencapai $31,7 miliar, termasuk $14 miliar dalam bentuk pembiayaan bersama (cofinancing).
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...