Afghanistan Sedang Berjuang untuk Modernisasi Layanan Posnya
KABUL, SATUHARAPAN.COM-Di beberapa wilayah Afghanistan yang tidak memiliki nama jalan atau nomor rumah, perusahaan utilitas dan pelanggannya telah mengadopsi pendekatan kreatif untuk terhubung. Mereka menggunakan masjid sebagai tempat penyerahan tagihan dan uang tunai, sebuah sistem “bayar dan shalat”.
Kini layanan pos nasional ingin menghentikan hal ini secara bertahap dengan menempatkan kotak surat di setiap jalan di seluruh negeri, sebagai bagian dari rencana untuk memodernisasi layanan yang telah lama terhambat oleh birokrasi dan perang.
Aspirasi tersebut antara lain memperkenalkan akses berbelanja melalui situs e-commerce dan menerbitkan kartu debit untuk pembelian online. Hal ini akan menjadi sebuah lompatan besar bagi negara yang sebagian besar penduduknya tidak memiliki rekening bank, kargo udara masih dalam tahap awal, dan perusahaan kurir internasional bahkan belum melakukan pengiriman ke ibu kota, Kabul.
Perubahan ini berarti warga Afghanistan akan membayar biaya layanan yang lebih tinggi, sebuah tantangan karena lebih dari separuh penduduknya sudah bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.
Afghan Post, seperti kebanyakan negara lainnya, masih melakukan segalanya di atas kertas. “Tidak ada yang menggunakan email,” kata direktur pengembangan bisnisnya, Zabihullah Omar. “Afghanistan adalah anggota Persatuan Pos Universal, namun jika kita membandingkan diri kita dengan negara lain, tingkatnya masih rendah dan masih dalam tahap awal.”
Layanan pos ini memiliki 400 hingga 500 cabang di seluruh negeri dan merupakan kunci untuk menyelesaikan tugas administratif seperti mendapatkan paspor atau SIM (surat izin mengemudi). Ini mendistribusikan hingga 15.000 paspor setiap hari.
Layanan populer lainnya adalah sertifikasi dokumen untuk masuk ke pendidikan tinggi atau institusi luar negeri. Cabang utama Kabul memiliki konter khusus bersama dengan jalur VIP dan area khusus perempuan.
Kantor pos di Afghanistan sangat penting bagi perempuan yang ingin mengakses layanan atau produk yang biasanya tidak mereka dapatkan, karena mereka sering kali dilarang memasuki kantor kementerian atau tempat resmi lainnya.
Namun momok dari dekrit Taliban yang menargetkan perempuan dan anak perempuan juga muncul di Afghan Post.
Di pintu masuk cabang utama Kabul, ada tanda yang memberitahukan perempuan untuk mengenakan jilbab dengan benar. Salah satu gambar menunjukkan seorang perempuan dengan tanda silang merah di wajahnya. Yang lainnya memiliki tanda centang hijau di wajahnya karena hanya matanya yang terlihat.
Salah satu perempuan yang mengunjungi cabang tersebut adalah seorang lulusan kedokteran berusia 29 tahun dari Provinsi Farah, di bagian barat, yang bernama Arzo. Kementerian Pendidikan tidak mengizinkannya masuk dan malah mengirimnya ke kantor pos untuk mengurus dokumen.
Dia ingin dokumennya disertifikasi, sebuah langkah praktis di tengah situasi ekonomi negara yang genting dan pembatasan besar-besaran terhadap perempuan dan anak perempuan. “Apa pun bisa terjadi kapan saja,” katanya. “Tidak ada pekerjaan. Ada banyak masalah.”
Ini adalah pertama kalinya dia menggunakan kantor pos. Dia membayar 640 afghani, atau setara US$9, untuk setiap dokumen dan menyebut biaya tersebut terlalu tinggi.
Pelanggan yang lebih puas adalah Alam Noori, 22 tahun, dari Provinsi Paktika, di bagian timur, yang datang untuk mengambil paspornya. “Sepotong kue,” katanya dalam bahasa Inggris. Dulu, dia juga menggunakan kantor pos untuk mengambil SIM-nya.
“Saya mengetahui keberadaan kantor pos melalui media sosial,” ujarnya. “Masyarakat di kota banyak yang menggunakannya karena mereka menyadarinya, tapi masyarakat di desa dan kabupaten tidak.”
Direktur pengembangan bisnis Afghan Post, Omar, menginginkan layanan yang lebih mudah bagi masyarakat namun mengakui bahwa hal itu akan memakan waktu.
“Di sebagian besar instansi pemerintah, masyarakat berpindah dari pelayanan publik, jadi saya ingin melayani masyarakat di sini, dan itu membuat saya sangat senang,” kata dia. “Ada kebutuhan akan kantor pos di mana pun terdapat populasi.”
Di sinilah perlunya rencana untuk memiliki kotak surat di setiap jalan. Kotak surat tersebut akan digunakan untuk membayar tagihan, mengirim surat, dan menyerahkan dokumen untuk diproses.
Namun surat tulisan tangan mulai menghilang, seperti yang terjadi di banyak belahan dunia.
Hamid Khan Hussain Khel adalah salah satu dari 400 tukang pos di negara itu, berkeliling ibu kota dengan sepeda motor bertanda Afghan Post berwarna biru dan kuning. Namun dia belum mengirimkan surat pribadi, meski telah melayani lima juta penduduk kota itu selama dua tahun. Dia mencontohkan popularitas ponsel pintar dan aplikasi perpesanan.
Dia menikmati pekerjaan tersebut, yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan pekerjaan yang dilakukan selama konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
“Saat kita bertemu orang, kepuasan mereka membuat kita bahagia,” ujarnya. “Saya belum pernah melihat seseorang yang tidak tersenyum ketika mereka mendapatkan dokumennya.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...