Agama dan Keluarga
Keluarga sebenarnya memegang peran paling penting di dalam mendidik pandangan keagamaan anak. Lewat keluarga seorang anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang dapat menghargai keyakinan orang lain, atau sebaliknya memusuhinya.
SATUHARAPAN.COM - Beberapa waktu lalu saya dan seorang sahabat, Tria, berbincang-bincang perihal agama. Sejatinya ini adalah topik yang sangat jarang bahkan belum pernah kami diskusikan. Pasalnya, kami memiliki agama yang berbeda yang sudah barang tentu akan berbeda pandangan dan keyakinan pula. Ia seorang yang taat pada agamanya, pun saya tidak pernah ragu terhadap ajaran agama yang saya anut. Seolah sepakat, kami tidak ingin perbedaan itu menimbulkan perselisihan sebagaimana yang lazim terjadi.
Diskusi ini berawal dari sebuah laporan masyarakat yang tengah kami tangani. Ringkasnya, laporan itu mengeluhkan pelayanan sebuah instansi yang tidak mau mendaftarkan pernikahannya karena ada intervensi dari pihak lain. Setelah ditelusuri, ternyata kronologi sebenarnya tidak sesederhana itu.
Pelapor, sebut saja A, bermaksud menikahi calon istrinya, sebut saja B. Awalnya, mereka menganut dua agama yang berbeda. Namun sebelum mengutarakan niat pernikahannya, si A memutuskan memeluk agama yang sama seperti B. Ini menjadi pemicu tidak direstuinya hubungan mereka oleh keluarga A, apalagi sampai ke pernikahan. Singkat cerita, orangtua A berusaha “menyadarkan kembali” anaknya agar kembali memeluk agama semula. Salah satunya dengan mencegah rencana pernikahan itu.
Menanam Sejak Dini
Kondisi di atas bukan hal yang mengejutkan. Itu kerap terjadi di tengah-tengah keluarga. Wajar saja, mengingat bahwa keluarga yang memegang teguh ajaran agamanya tentulah tidak ingin ada anggota keluarganya yang menganut pandangan berbeda. Kecuali bila ia dari aliran liberal murni yang memandang bahwa semua agama itu “sama.” Selain itu, beberapa juga meyakini, bahwa orangtua kelak harus bisa mempertanggungjawabkan apabila ada anggota keluarganya yang “menyimpang.” Tidak ada yang salah dengan pemahaman ini. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keluarga sudah melakukan perannya sejak awal atau malah hadir ketika seorang anak justru sudah dewasa dalam menentukan pilihannya?
Tidak bisa dinafikan, keluarga merupakan benih akal penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian. Anak-anak mengikuti orangtua dan berbagai kebiasaan dan perilaku, yang akan membentuk kepribadian-kepribadian serta memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang akan terus bertahan lama. Keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku individu serta pembentukan vitalitas dan ketenangan dalam benak anak-anak karena melalui keluarga anak-anak mendapatkan bahasa, serta kecenderungan mereka sejak kehidupannya dimulai. Keluargalah lembaga yang paling strategis dalam meletakkan nilai-nilai fundamental sebagai dasar berpijak anak sekaligus menjadi titik awal baginya untuk melangkah.
Nilai fundamental disini termasuk adalah pengetahuan, pemahaman dan pengamalan yang benar tentang agama. Artinya, sebelum mengenal dunia luar, seharusnya anak sudah diperlengkapi terlebih dahulu dengan modal dasar ini sebagai bekal pembentuk kepribadian dan prinsipnya. Tak cukup hanya mengenalkan, keluarga khususnya orangtua harus pula mampu menunjukkan nilai itu lewat perbuatan dan tingkah laku yang sejajar dan sepadan dengan nilai-nilai agama yang diajarkannya itu. Contohnya, jika dalam satu keluarga menganut agama Islam, maka idealnya orangtua harus mengajarkan tindakan seorang Islam seperti Sholat lima waktu, ibadah tiap Jumat bagi laki-laki, mengharamkan judi, dan lain sebagainya. Tak hanya teori, melainkan teladan yang nyata dan pendampingan. Itulah sejatinya menanam benih sejak dini, serta merawatnya seiring berjalannya waktu.
Bukankah keliru jika kita mengharapkan panen yang melimpah dari sesuatu yang kita sendiri tidak sepenuh hati menanam dan merawatnya? Demikian halnya dalam keluarga. Mustahil orangtua berharap anaknya seperti apa yang diinginkannya bila sejak awal tidak dibekali. Karena bagaimanapun, lingkungan di luar keluarga sangat kuat daya tariknya untuk mengubah cara pandang dan pola hidup anak. Sehingga ketika faktor-faktor diluar dirinya mulai mempengaruhi, tak satupun yang dapat mencegah kecuali dia sendiri yang memilah berdasarkan apa yang ia pahami sebelumnya.
Pada akhirnya, ketika ia sudah dewasa dan memutuskan pilihannya sendiri, yang dapat dilakukan oleh orangtua hanyalah mengingatkan. Melarang atau menghalangi hanya akan melukai hatinya.
Yang Luput
Sejauh pengamatan penulis, ada hal lain yang sering sekali luput dari perhatian keluarga dalam memahamkan agama kepada anak, yakni isi ajaran itu sendiri. Tak jarang anak hanya dijejali dengan doktrin semata, bukan membangun nilai. Ajaran hanya berfokus pada logika dan metode negasi: Jika ini benar, maka yang itu salah. Premis semacam ini, yang tanpa dibarengi dengan penjelasan dengan nilai-nilai hidup, akan berpotensi melahirkan anak-anak radikal dalam pengertian negatif. Maksudnya negatif adalah ketidakmampuan atau ketidaksediaan dalam menerima kemajemukan, sehingga akan sangat sulit menumbuhkan rasa toleransi.
Tidak sulit menemukan produk semacam ini, khususnya dalam era teknologi dan keterbukaan informasi sekarang. Cukup berselancar di dunia maya, ambil satu contoh artikel yang berisi suatu ajaran agama, dan lihatlah tanggapan para pembaca di bawahnya. Disana bertabur caci maki atas nama agama. Satu sisi, pernyataan-pernyataan itu menunjukkan bahwa mereka sangat memegang teguh kebenaran ajaran agamanya. Namun disisi lain, pemahaman itu tidak mengandung nilai yang benar karena tidak bisa ditempatkan pada forum dan waktu serta cara yang tepat.
Hal ini berpotensi merusak persatuan bangsa. Jangankan bangsa, interaksi sosial dalam lingkup yang kecil sekalipun tidak akan bisa harmonis bila yang dikedepankan adalah doktrin, bukan nilai. Lagipula, cara terbaik untuk memberitahu orang lain bahwa kita benar bukanlah dengan menunjukkan kesalahannya, melainkan membuka hatinya dengan tindakan kita tanpa harus menghakimi. Itulah yang perlu dibangun dalam sebuah keluarga, sejak awal.
Heilbroner pernah berkata: “Masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu.” Dan fungsi pengendalian itu ada pada keluarga melalui nilai-nilai agama yang ditanam sejak dini.
Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Hukum itu masih berlaku hingga kini. Maka jangan memimpikan tuaian dari apa yang tidak pernah ditabur.
Penulis adalah Asisten Ombudsman Republik Indonesia
Editor : Trisno S Sutanto
PM Lebanon Minta Iran Bantu Amankan Gencatan Senjata Perang ...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Perdana Menteri sementara Lebanon pada hari Jumat (15/11) meminta Iran untuk...