Agama Minoritas: SBY Jangan Hanya Berwacana dan Imbauan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perwakilan dari agama minoritas antara lain Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, Penghayat Kepercayaan, dan Syiah, sangat berharap di sisa waktu tiga bulan rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak hanya sekedar berwacana dan imbauan dalam setiap pidatonya, melainkan bertindak dan memberikan solusi yang sunguh-sungguh dapat dirasakan bagi kelompok minoritas.
Seperti disampaikan dalam konferensi pers Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Kantor HRWG, Gedung Jiwasraya, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (10/6), mereka pun sepakat menyerahkan harapannya kepada calon presiden (capres) yang mampu bertindak cepat dalam mengeksekusi penyelesaian kasus intoleran antar umat beragama di Indonesia.
Sikap yang mereka harapkan dari seorang Presiden SBY adalah sungguh-sungguh ditegakannya hukum yang mengatakan melindungi hak setiap warga negara sesuai dengan UUD 1945, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Seorang Kyai yang menjadi perwakilan dari Ahmadiyah, menjelaskan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia sudah memiliki badan hukum yang terdaftar di Kementerian Kehakiman sejak 1923, jauh sebelum kemerdekaan. Meskipun Ahmadiyah sebagai instansi, tetapi tidak memberikan pengarahan tertentu kepada jemaat Ahmadiyah untuk cenderung kepada salah satu capres.
Jemaat Ahmadiyah masing-masing telah diberikan pemahaman untuk cerdas dalam memilih capres dan cawapres yang memberikan manfaat kepada setiap warga negara. Sehingga setiap warga negara bisa mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan UU yang berlaku.
“Menurut pemahaman kami kebebasan beragama, berkumpul, berorganisasi, mengeluarkan pendapat, termasuk berkeyakinan dan beragama sudah dijamin dalam konstitusi,” tuturnya.
Euis, perwakilan dari Penghayat Kepercayaan mengatakan bahwa Sunda Wiwitan adalah sistem religi masyarakat Sunda asli, artinya masih mengukuhi agama nenek moyangnya. Akan tetapi, masyarakatnya ternyata hidup dalam diskriminasi.
“Kami mengalami diskriminasi terutama menyangkut hak sipil dalam pengakuan perkawinan, dan segala yang berhubungan dengan legalitas negara seperti akta kelahiran, serta dalam hal pendidikan,” sesal Euis.
Euis berharap pemimpin selanjutnya mampu melihat komunitas ini sebagai bagian dari elemen masyarakakt, dan bisa memberikan kesempatan untuk berkiprah. Karena komunitas ini masih mempertahankan nilai-nilai luhur yang sesungguhnya merupakan karakter asli bangsa Indonesia.
“GKI Yasmin di Bogor, sampai saat ini masih disegel secara ilegal, walaupun sebenarnya sudah memperoleh putusan pengadilan tingkat tertinggi yang berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA) dan juga dari Ombudsman RI,” kata juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging.
PBB mengawasi kebebasan berkumpul secara damai bagi semua kelompok bangsa di seluruh dunia. Yang perlu menjadi catatan adalah ‘Berkumpul Secara Damai’, bukan berkumpul untuk menebarkan kebencian. Sebagaimana intoleransi yang dialami GKI Yasmin dan lainnya dalam hal ini, pastinya karena ada kelompok-kelompok yang ‘berkumpul untuk menebarkan kebencian’.
“SBY sebenarnya yang diharapkan menyelesaikan kasus-kasus ini, namun jika semua kasus dari semua kelompok minoritas ini tidak diselesaikan, kami percaya bahwa akan terus terjadi transfer permasalahan setiap lima tahun kepada pemerintahan yang baru terbentuk siapapun itu,” tutur Bona.
Janji untuk membuka gerbang GKI Yasmin, sejatinya jangan disamakan dengan janji jualan kampanye misalnya janji untuk membangun jalan tol atau lapangan udara dari Sabang sampai Merauke yang memang pantas untuk dikontestasikan. Sebab, putusan dari MA dan Ombudsman RI soal GKI Yasmin sifatnya mengikat buat capres manapun yang terpilih.
Perwakilan Agama Syiah dari lembaga OASE (Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education), Emilia Renita Az, mengungkapkan hal senada dengan pernyataan dari Ahmadiyah, Penghayat Sunda Wiwitan, dan GKI Yasmin.
Emilia menuturkan bahwa isu Syiah dan Sunni sudah ribuan tahun, dan mereka merupakan kelompok minoritas yang selalu tertindas. Akan tetapi ketika berbicara HAM, maka kelompok minoritas ini mempunyai hak yang sama untuk hidup.
“Apapun yang terjadi pada kelompok Syiah di luar negeri, pasti berdampak di kita. Misalnya perang di Suriah, Mesir, Arab Saudi, ketika kelompok Syiah di serang, gereja pun ikut di serang, semuanya seperti satu paket,” tutur Emilia.
Isu Syiah dan Sunni ini, banyak pemain politiknya. Emilia percaya orang Indonesia secara akhlak dan kebersamaannya tidak mungkin punya kebencian terhadap satu sama lain. Pasti ada tokoh-tokoh politik yang mengirimkannya entah dari luar negeri atau dari manapun.
“Seperti kasus yang terjadi pada kelompok Syiah di Sampang, sampai dibentuknya Aliansi Anti-Syiah secara tiba-tiba, kenapa, karena ada tokoh Syiah yang sekarang masuk ke parlemen dan diisukan akan menjadi menteri agama (Jalaludin Rahmat dari fraksi PDIP, Red). Bahkan ada media yang mengisukan bahwa Jokowi adalah Syiah, sampai Pak Jusuf Kalla harus klarifikasi ke mana-mana, ini lucu bagi saya. Percayalah, tidak ada orang Syiah yang berambisi untuk menguasai,” tutur Emilia.
Dengan tegas, Emilia mengatakan seluruh warga Syiah akan memilih Jokowi sebagai presiden. Karena di tempat Prabowo, ia menemukan manifesto Partai Gerindra tentang minoritas, belum lagi FPI (Front Pembela Islam, Red) titip 10 pesan kepada Prabowo, seolah-olah Indonesia ini ingin dibuat menjadi negara Islam, padahal kenyataannya negara kita ini sangat heterogen.
“Walaupun kami sebagai minoritas, kami juga melakukan kewajiban seperti membayar pajak kepada negara, dan kewajiban lainnya, tetapi satu saja hak yang kami minta, agar bisa beribadah dengan aman. Meskipun Jokowi nantinya tidak terpilih, saya berharap Prabowo akan lebih bijak menyikapi kebhinekaan kita yang sedang terancam ini,” ucapnya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...