Ahli: UU Perusakan Hutan Langgar Prinsip Persamaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dosen Hukum Pidana FH Universitas Tanjungpura Hermansyah, menilai sejumlah pasal ancaman pidana dalam UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melanggar prinsip persamaan di muka hukum.
Hal ini diungkapkan Hermansyah, saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (20/11).
Menurut Hermansyah, pelanggaran prinsip persamaan di muka umum, karena perusahaan yang menebang atau bahkan merusak hutan adat yang berada di kawasan hutan hak mereka tidak dapat dipidana, sepanjang perusahaan tersebut memiliki perizinan.
"Di sinilah letak tidak terpenuhi prinsip persamaan dimuka hukum (equality before the law), dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan," kata Hermansyah.
Hermansyah mengatakan, meski sudah ada putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menjamin adanya hutan hak, hutan negara, hutan lindung, hutan konservasi, hutan adat, namun status hutan adat yang belum jelas pengaturan batasannya dalam hukum positif, sehingga menjadi penyebab masyarakat rentan menjadi korban dari pasal-pasal pidana dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
"Jika masyarakat adat atau masyarakat sekitar hutan menebang hutan yang mereka anggap sebagai hutan adat, sementara negara belum mengatur secara jelas batasan hukum adat, seharusnya belum dapat diselesaikan melalui instrumen pidana kepadanya," tuturnya.
Ia mengatakan, dengan belum adanya kejelasan hak (hutan adat), maka jika terjadi penebangan oleh masarakat adalah konflik antara hak.
Hermansyah mengatakan, bahwa konflik antara hak ini tidak dapat diselesaikan oleh hukum pidana.
Ahli hukum ini mengatakan, bahwa substansi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan tidak secara jelas memberi perlindungan terhadap keberadaan hutan adat yang dijamin Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Pengujian UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ini diajukan oleh Koalisi Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM) yang terdiri Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), ICW, Yayasan Silvagama, Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo bersama perorangan yaitu Edi Kuswanto (NTB), Rosidi (Jawa Tengah), Mursyid (Banten).
Mereka meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 3; Pasal 6 ayat (1) huruf d; Pasal 11 ayat (4); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 26; Pasal 46 ayat (2), (3), (4); Pasal 52 ayat (1); Pasal 82 ayat (1), (2); Pasal 83 ayat (1), (2), (3); Pasal 84 ayat (1), (2), (3); Pasal 87 ayat (1) huruf b, huruf c, ayat (2) huruf b, huruf c dan ayat (3); Pasal 88; Pasal 92 ayat (1); Pasal 94 ayat (1); Pasal 110 huruf b; Pasal 112 terkait tindakan (pidana) pengrusakan hutan bagi masyarakat.
Para pemohon ini menilai, pasal-pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang awalnya untuk mencegah perusakan hutan secara masif dan canggih, tetapi faktanya mengkriminalisasi masyarakat hukum adat, masyarakat desa sekitarnya. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...