Ahmad Basarah Menilai Usulan PPP Bermuatan SARA
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI, Ahmad Basarah menilai usulan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tentang amandemen UUD 1945 yang mengatur soal syarat menjadi presiden RI harus WNI asli tidak sesuai dengan politik hukum negara.
Politik hukum negara ingin menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk utamanya karena bermuatan SARA (suku, agama, ras, antar golongan), kata Ahmad Basarah dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, hari Minggu (9/10).
“Usulan PPP untuk mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan agar berubah menjadi Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli, dimana makna Indonesia asli yang dimaksudkan adalah pribumi merupakan usulan yang ahistoris dan tidak sesuai dengan politik hukum negara yang ingin menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk utamanya karena SARA," katanya.
Menurut Basarah, dikatakan ahistoris karena sejatinya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, yang menyebutkan Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli juga tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan hanya warga negara Indonesia pribumi yang dapat menjadi Presiden dan warga negara Indonesia non pribumi (peranakan) dibatasi tidak dapat menjadi calon Presiden.
Kehadiran Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 naskah asli (sebelum perubahan) pada waktu itu dilatarbelakangi persiapan kemerdekaan Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang.
“Untuk menghindar dari kemungkinan dicalonkannya seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia yang masih baru, maka frasa Indonesia asli dicantumkan. Dengan kata lain makna Indonesia asli adalah bukan orang asing atau lebih khususnya dalam konteks waktu itu adalah bukan orang Jepang,” kata dia.
Dengan demikian, lanjut Basarah, makna Presiden ialah orang Indonesia asli waktu itu bukan dimaksudkan membuat perbedaan pribumi atau non pribumi melainkan orang Indonesia atau orang asing. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 kemudian dilakukan perubahan saat dilakukan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002.
Landasannya karena dalam perkembangannya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 ternyata rawan menimbulkan multitafsir yaitu Indonesia asli oleh sebagian pihak dimaknai pribumi dan non pribumi.
“Untuk itulah dilakukan perubahan pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dengan rumusan yang lebih menjamin kepastian dan tidak menimbulkan multitafsir yaitu calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,” katanya.
Dengan demikian, kata Basarah, semangat Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan sebenarnya sama saja. Yang beda adalah cara penafsirannya saja.
“Usulan untuk memasukkan kembali kalimat presiden ialah orang Indonesia asli yang dimaknai sempit pribumi dan non pribumi selain ahistoris juga bersifat diskriminatif, karena membedakan hak menduduki jabatan publik karena keturunan," katanya.
Dengan kata lain, lanjut Basarah, jika pasal 6 ayat 1 UUD 1945 sebelum perubahan dihidupkan kembali dan frasa orang Indonesia asli dimaknai sebagai pribumi, maka warga negara Indonesia keturunan Arab, China dan lain sebagainya, meskipun dia warga negara Indonesia sejak kelahirannya maka tidak dapat menjadi Presiden Indonesia.
“Kalau kemudian mengikuti usulan PPP, hal itu berarti tokoh-tokoh seperti Anis Baswedan, Alwi Shihab, Kwik Kian Gie, Jaya Suprana dan lain-lain tidak dapat menjadi Presiden Indonesia," kata Wakil Sekjen DPP PDIP Bidang Pemerintahan ini. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
PM Lebanon Minta Iran Bantu Amankan Gencatan Senjata Perang ...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Perdana Menteri sementara Lebanon pada hari Jumat (15/11) meminta Iran untuk...