Ahok Dianggap Ikon Lintas Agama dan Lintas Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ujian kebangsaan yang masalahnya terutama berakar pada kesenjangan ekonomi dan tumbuhnya radikalisme agama. Hal ini antara lain terlihat dalam penanganan kasus hukum tuduhan penistaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sebenarnya merupakan kasus politik yang menggunakan isu agama.
Hal itu diungkapkan oleh tokoh muda Muslim, Mohamad Guntur Romli, dan Dr. Albertus Patty dalam diskusi kebangsaan, hari Senin (15/5) di Jakarta, yang diselenggarakan oleh GKI Sinode Wilayah Jawa Barat.
Basuki Tjahaja Purnama, Gunernur DKI Jakarta, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dijatuhi hukuman penjara dua tahun atas tuduhan penistaan agama. Namun menurut Guntur Romli, Ahok justru menjadi ikon perlawanan dan figur politisi baik yang membangun pemerintahan yang melayani rakyat, dan memberantas korupsi.
Menurut Guntur Romli, kasus penistaan agama terhadap Ahok diangkat setelah upaya untuk menjatuhkan dia dalam kasus korupsi menemui kegagalan. Dan hal itu menggunakan momentum pemilihan gubernur di mana Ahok menjadi salah satu calon.
Namun menurut dia, Ahok sebagai ikon perlawanan dan politisi yang baik, merupakan ikon yang lintas agama bahkan lintas negara. Dia menyebutkan ada 97 kota yang telah menggelar aksi menyalakan lilin dalam beberapa hari terakhir, dan ditanggapi oleh sembilan negara.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa masalah ini bukan masalah Ahok dan Kristen saja, tetapi masalah kebangsaan yang menyangkut dasar negara Pancasila dan kesadaran tentang kebhinekaan bangsa Indonesia. Isu ini yang harus diserukan, karena masalahnya mengancam NKRI.
Guntur Romli menegaskan bahwa Ahok bukan hanya idola warga Kristen saja, tetapi juga di kalangan Muslim. Tindakannya (sebagai pejabat pemerintah) sangat Muslim (dalam melayani rakyat dan melawan korupsi dan ketidakadilan), karena ini menyangkut masalah ajaran dan nilai. Dan apa yang dihadapi Ahok datang dari orang yang kepentingannya tertutup oleh pemerintahannya.
Guntur Romli mengatakan aksi lilin sebagai hal yang positif dan harus dijalankan dengan melibatkan elemen bangsa yang lain, serta mengangkat isu kebangsaan, keadilan dan keutuhan NKRI, tanpa ujaran kebencian.
Sementara itu Albertus Patty mengatakan bahwa ujian kebangsaan yang tengah dihadapi Indonesia sekarang ini, hasilnya bergantung pada cara sebagian besar komponen bangsa ini meresponsnya. Jika lulus, maka Indonesia bisa menjadi bangsa yang makin pancasilais dan demokratis. Namun jika gagal, kemungkinan akan menjadi negara agama, atau negara di bawah pemerontahan otoriter, atau akan terpecah seperti yang terjadi di Suriah, Sudan, Irak dan Uni Sovyet pada masa lalu.
Namun demikian, masalah yang paling berbahaya dalam merspons masalah ini, kata Patty, adalah ketakutan, apatisme, dan kelambanan dalam menangani masalah. Dan akan semakin berbahaya jika responsnya, terutama terhadap radikalisme, justru dengan sikap sektarian dan fundamentalisme.
Dalam konteks ini,Patty mengingatkan gejala dalam bahaya tersebut justru menandai adanya kelumpuhan moral dan spitiritual yang akut dalam kehidupan bangsa. Maka dia menganjurkan salah satu responsnya adalah dengan mengatakan dan menegakkan penghormatan pada manusia dan membangun kerja sama dengan kelompok warga bangsa, serta aktif dalam membangun transformasi untuk menjaga NKRI dan Pancasila.
Respons pemerintah Joko Widodo yang lambat dalam kasus Ahok, menurut Guntru Romli, juga menyebabkan kekecewaan di kalangan rakyat. Namun dia mengingatkan adanya bahaya bahwa belakangan ini pendukung Jokowi tengah didorong untuk berhadap-hadapan dengan pendukung Ahok.
Sementara itu, ketua GKI Sinode Wilayah Jabar, Pdt. Sheph Davidy Jonazh, mengatakan bahwa jemat GKI akan menyenggarakan ibadah kebangsaan untuk membangun rasa kebangsaan dan peduli pada masalah yang dihadapi bangsa ini.
Editor : Sabar Subekti
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...