Ahok: Kontribusi Tambahan dalam Reklamasi Berpayung Hukum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menjadi saksi dalam persidangan petinggi PT Agung Podomoro Land (PT APL), Ariesman Widjaja, yang sekaligus terdakwa pemberi suap terkait reklamasi pantai utara Jakarta kepada Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra, Mohamad Sanusi; Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), juga diminta menyampaikan payung hukum atas aturan kontribusi tambahan sebesar 15 persen dari pihak pengembang.
Ahok menyebutkan, payung hukum kontribusi 15 persen tersebut ia ambil dari Keputusan Presiden (Keppres) tahun 1995 yang mengatur tata pulau sekaligus mengurus daratan, serta perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah DKI Jakarta dengan swasta tahun 1997.
“Tidak mungkin tidak ada dasar hukumnya. Kami mengacu kepada Keppres tahun 1995. Selain mengacu pada Keppres itu juga pada perjanjian kerja sama pemerintah dengan pengembang tahun 1997.” kata Ahok, hari Senin (25/7) malam, di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat.
Dua hal yang menjadi dasar hukum kebijakan Ahok tersebut menurut Keppres Nomor 52 Tahun 1995, guna mewujudkan fungsi kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai kawasan andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan melalui kegiatan reklamasi dengan menguruk, menimbun, dan mengeringkan laut untuk dijadikan daratan (reklamasi). Keppres itu diantaranya mengatur bentuk dan jumlah pulau.
Dalam pasal keempat Keppres, digarisbawahi oleh Ahok, bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi Pantai Utara berada pada gubernur atau kepala daerah khusus ibu kota Jakarta. Namun, ia juga menegaskan tidak semua reklamasi pulau melalui pemerintah daerah, karena dimiliki oleh swasta.
“Ada beberapa pulau yang izinnya tidak melalui kami, contohnya satu pulau yang sudah selesai dan dimanfaatkan adalah pulau N milik Pelindo yang dinamai New Tanjung Priuk. Pulau C dan D kini yang sedang bermasalah, sedangkan Pulau G sejak tahun 2014 sedang pelaksanaan dan belum selesai,” kata Ahok.
Diatur dalam Keppres Pasal 12 juga, Ahok menegaskan, pihaknya harus membuat perjanjian kerja sama dengan pengembang. Di dalam Keppres tak hanya untuk pengembangan dan penataan Pantai Utara melalui reklamasi, tapi sekaligus menata ruang daratan yang ada secara berkala dan terpadu. Sehingga hal ini yang juga mendasari kontribusi pengembang, baik berupa uang atau fisik infrastruktur di luar area pengembangan oleh pengembang kepada pemerintah daerah.
Di dalam perjanjian kerja samanya, Ahok menjabarkan bentuk kontribusi tambahannya. “Kontribusi tambahan yang nilainya untuk penanggulangan banjir, pompa, jalan inspeksi, bendungan, rumah susun, dan waduk. Semua kembali lagi untuk kebaikan warga Jakarta,” katanya.
Ahok yang sebelumnya sempat tiga kali ditolak oleh Badan Legislasi Daerah (Balegda) DKI Jakarta saat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berisikan aturan kontribusi 15 persen bagi pengembang di Pantai Utara Jakarta, merasa heran sekaligus khawatir.
Pasalnya, ia berkaca pada perjanjian kerja sama tahun 1997 yang mangkrak ketika terjadi krisis moneter tahun 1998. Ahok menegaskan apabila terdapat perjanjian tetapi tidak diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) akan kurang kuat dan bisa menimbulkan berbagai kekacauan.
Ia mencontohkan, pada tahun 1998 ketika pengembang tiba-tiba membatalkan secara sepihak perjanjian dengan DKI dikarenakan krisis moneter, ibu kota menjadi banjir karena pompa yang berada di daerah Sentiong dihentikan pembuatannya.
“Sejak pengalaman di Sentiong itu, saya lalu memilki kekhawatiran apabila masalah kontribusi ini tidak di-Perda-kan bisa-bisa akan ada lagi pembatalan sepihak dari pengembang. Saya khawatir dan tidak ingin hal itu terulang lagi,” ujar dia.
Ahok menetapkan besaran kontribusi tambahan 15 persen, dikatakan olehnya, bukan sekedar perhitungan biasa. Sebelumnya, ia telah meminta bantuan kepada biro tata ruang dan pihak-pihak ahli yang dapat menghitung secara terperinci mengenai besaran dan aturan pemberian kontribusi oleh pengembang yang dianggapnya dapat menjadi dana perbaikan dan pembangunan di Jakarta.
Terkait kasus suap reklamasi, Ahok mengatakan menyayangkan bahwa PT APL harus melakukan penyuapan terhadap Sanusi, sebab dia menganggap PT APL sebagai pengembang yang paling kooperatif.
“Banyak proyek di DKI yang dilakukan PT APL. Dia bangun rusun, jalan, dan sebagainya. Saya kaget dan bingung kenapa harus ada kejadian seperti ini,” ujar Ahok.
Ariesman telah didakwa memberi uang suap kepada Sanusi sebesar Rp 2 miliar.
Pemberian tersebut bertujuan untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda reklamasi serta mengakomodasi pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MWS) agar punya legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan reklamasi Pantura Jakarta.
Izin Pelaksanaan Reklamasi sudah dikeluarkan sejak zaman Gubernur Fauzi Bowo pada 2010 yaitu Pulau 2A kepada PT Kapuk Naga Indah (KPI), dilanjutkan penerbitan Persetujuan Prinsip pulau A, B, C dan D kepada PT KPI; Izin Pelaksanaan Pulau 1 dan Pulau 2B kepada PT KPI; Pulau G kepada PT MWS; Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci; dan Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo bekerja sama dengan PT Agung Dinamika Persada. Izin pun diperpanjang pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2014-2015.
PT KPI adalah anak perusahaan Agung Sedayu Group dan PT MWS, PT Agung Dinamika Perkasa dan PT Jaladri Kartika Pakci sebagian besar sahamnya dimiliki PT APL.
PT MWS mulai melaksanakan reklamasi dengan membuat pulau G pada pertengahan 2015.
Editor : Eben E. Siadari
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...