Ahok Pernah Bertemu Ibu yang Tak Pilih Dia karena Beda Agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Terdakwa kasus penodaan agama, Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan bahwa dirinya teringat dengan pengalaman pada Pilkada Bangka Belitung 2007 sehingga menyebut Surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungan ke Kepulauan Seribu September 2016 lalu.
"Jangan-jangan kayak di Belitung, orang polos harus bayar program karena dia pikir dalam Pilkada harus bayar budi kalau mau milih program. Saya bilang tidak ada ambil saja programnya karena saya dengar sudah ada Al Maidah 51 itu," kata Ahok saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa dalan lanjutan sidang kasus penodaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
Ahok pun mengaku pernah berbicara dengan seorang ibu yang tidak memilih dirinya karena berbeda agama.
"Dia bilang, "Ahok, ibu enggak bisa pilih kamu karena ibu takut jadi murtad, jadi ibu enggak bisa pilih kamu," kata Ahok.
Ahok pun menyatakan teringat kembali saat dirinya bertemu dengan seorang ibu saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu itu.
"Saya menduga ibu itu ingin bicara, `maaf saya enggak ambil program kamu karena kalau ambil maka harus milih kamu`. Saya sampaikan tidak pilih saya tidak apa-apa karena program tetap jalan karena saya sampai Oktober 2017," ucap Ahok.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman lima tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...