Aida Kampanyekan Perdamaian Korban dan Mantan Narapidana Terorisme
SOLO, SATUHARAPAN.COM – Aliansi Indonesia Damai (Aida) sebagai lembaga yang punya perhatian dan kepedulian pendampingan para korban aksi terorisme di Indonesia, terus mengampanyekan perdamaian dengan mempertemukan antara korban dan mantan narapidana terorisme di Kota Solo.
“Ada dua narasi penting yang disampaikan, baik oleh korban maupun mantan narapidana terorisme, sebagai edukasi kampanye perdamaian untuk publik,” kata Direktur Aida, Hasibullah Satrawi, di sela acara kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme 2019 di Hotel The Royal Haritage Solo, Minggu (8/12/2019).
Acara yang berlangsung dua hari, Sabtu (7/12) dan Minggu (8/12) itu diikuti puluhan jurnalis di Solo Raya.
Pada acara tersebut, Aida dengan menghadirkan nara sumber mantan narapidana terorisme Ali Fauzi Manzi, adik kandung dari Ali Gufron dan Amrozi, asal Jombang, Jawa Timur, dan Rini Agustina, keluarga salah satu korban aksi bom di depan Kedubes Australia, Jakarta, 2004.
Hasibullah Satrawi menyebutkan ada dua narasi yang penting sebagai edukasi kampanye perdamaian untuk masyarakat. Di antaranya, dari mantan narapidana terorisme Ali Fauzi Manzi, yang menyampaikan, “Jangan pernah membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan, dan tidak ada orang yang tidak punya masa lalu, serta tidak ada orang yang tidak pernah punya dosa.”
Seluruh manusia adalah pendosa. Akan tetapi, sebaik-baiknya pendosa adalah mereka yang mengakui kesalahan dan memperbaikinya.
Hasibullah melanjutkan, “Jangan suka menghakimi para pendosa, apalagi keluarganya, karena mereka masih mempunyai harapan jika mau berbagi, berempati, mendorong untuk melakukan perubahan. Aida memilih titik harapan dibanding penghakiman.”
“Kami mendorong siapa pun yang mau berubah, dan kami fasilitasi untuk bersama-sama menjadi gerakan Indonesia lebih damai,” katanya.
Selain itu, kata dia, narasi dari para korban dalam aksi perdamaian yang menyampaikan agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Bangsa ini, mengalami kekerasan yang sangat akut secara historis.
Menurut dia, dari korban perlu dikembangkan jangan pernah berpikir kekerasan bisa selesai dengan kekerasan. Yang dibutuhkan, jiwa kasih sayang dan pemaafan, yang menggelora dari para korban.
“Tidak ada orang yang tidak pernah terpuruk. Tidak ada orang yang tidak pernah menangis. Tidak ada orang tidak pernah gagal. Semua bisa diubah menjadi sebuah harapan dan senyuman bagi sebanyak-banyaknya manusia,” katanya.
Aida juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah memberikan hak-hak korban dengan segala keterbatasan yang ada.
Aida mendorong kementerian atau lembaga terkait untuk makin memenuhi hak-hak korban terorisme sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Selain itu, Aida meminta pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait dengan hak-hak korban dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebagai aturan turunan untuk memberikan kompensasi bagi korban terorisme.
Hal lain, Hasibullah melanjutkan, memberikan kompensasi kepada korban yang tidak menggugurkan hak-hak lain di luar kompensasi karena hak-hak korban pada prinsipnya berdiri sendiri.
“Kami mendorong pemenuhan hak-hak korban terorisme didasarkan atas asas keadilan dan kesejahteraan. Kami mengimbau masyarakat untuk mewaspadai ancaman-ancaman kekerasan, termasuk terorisme. Kami mengimbau masyarakat untuk mengedepankan perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Pada acara tersebut Aida juga menghadirkan sejumlah narasumber lain, antara lain Solohudin dari Universitas Indonesia (UI) yang menyampaikan materi “Memahami Jaringan dan Strategi Media Kelompok Terorisme”, Hanif Suranto dari Universitas Multimedia Nusantara yang menyampaikan materi berjudul “Realitas Media dalam Peliputan Isu Terorisme”, dan Nezar Patria (Dewan Pers) soal “Pedoman Peliputan Isu Terorsime”. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...