Akademisi: Dukungan Indonesia untuk Palestina Masih Nanggung
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Dukungan Indonesia untuk Palestina saya kira saat ini masih nanggung,” kata Broto Wardoyo, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Jumat (11/7).
Sejak Operasi Perlindungan Perbatasan (Operation Protective Edge) diluncurkan pada 8 Juli 2014, setidaknya 114 warga Palestina—88 dari mereka warga sipil—telah tewas menurut PBB. Lebih dari 850 warga Palestina telah terluka sejak dimulainya serangan Israel menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Di pihak Israel, 22 orang terluka.
Operasi tersebut adalah kelanjutan rantai peristiwa yang dimulai dengan penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel di Tepi Barat pada Juni 2014. Israel menuduh Hamas sebagai pelaku. Militer Israel mengklaim dua orang Israel tersangka penculikan dikenal anggota Hamas. Namun, Hamas membantah terlibat. Selanjutnya Israel melakukan pencarian besar-besaran untuk menemukan tiga remaja itu. Mereka juga menyerang daerah-daerah yang dikuasai militer dan infrastruktur Hamas dalam Operasi Penjaga Saudara (Operation Brother Keeper). Pasukan Israel menewaskan sepuluh warga Palestina dan menahan ratusan di Tepi Barat. Tiga remaja Israel itu ditemukan tewas. Operation Brother Keeper dilanjutkan Operation Protective Edge.
Beberapa jam setelah pemakaman tiga warga Israel, seorang remaja Palestina berumur 16-tahun bernama Mohammed Abu Khdeir Beit Hanina diculik dan dibakar hidup-hidup dalam serangan balasan oleh pemuda Yahudi. Enam tersangka Yahudi dalam pembunuhan itu telah ditangkap oleh polisi Israel. Namun, penemuan mayat Beit Hanina menyebabkan protes dan kerusuhan di Yerusalem Timur yang menyebar ke desa-desa Arab di seluruh negeri walaupun sudah muncul permintaan maaf resmi dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Di sisi lain, pada saat yang sama, dari Gaza meluncurlah roket menyerang wilayah-wilayah Israel dibalas dengan serangan udara Israel di Jalur Gaza.
Peristiwa ini tentu saja membuat publik Indonesia bereaksi—perhatian masyarakat Indonesia terhadap konflik di kawasan pesisir Laut Mediterania ini cukup intens—baik dengan berbagai aksi maupun pernyataan sikap. Bahkan, dua calon presiden yang saat ini sedang menunggu penghitungan suara pun tergoda untuk menyatakan sikap.
Berdasar wawancara satuharapan.com dengan pengajar Departemen Hubungan Internasional UI ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah Indonesia bisa punya peran yang jauh lebih baik—dibanding posisi saat ini—untuk berperan aktif mendukung kemerdekaan Palestina. Yang diperjuangkan bahkan sejak masa presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno.
Satuharapan.com: Bagaimana mendudukkan persoalan secara jernih dalam Operation Protective Edge?
Broto Wardoyo: Publik Indonesia harus kedua belah pihak tidak homogen. Di Palestina perlu diketahui bahwa kelompok Hamas bukan bagian dari PLO—organisasi pejuang kemerdekaan Palestina yang diakui PBB untuk mewakili rakyat Palestina di dunia internasional—dan di dalam Hamas sendiri ada banyak faksi. Saat pasukan Israel mundur dari jalur Gaza pada 2005, otomatis Hamas harus bertanggung jawab terhadap kehidupan sipil di sana. Termasuk berbagai kelompok sempalan yang radikal yang mengganggu kehidupan sipil di kawasan tersebut.
Misalnya, Gerakan Jihad Islam di Palestina. Ini adalah organisasi militan Palestina yang beroperasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kelompok ini telah dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Britania Raya, Jepang, Kanada, Australia, dan Israel. Iran adalah pendukung keuangan utama dari Jihad Islam. Dan, Jihad Islam adalah kelompok Islam terbesar kedua militan di Gaza dengan 8.000 pejuang hadir di Jalur Gaza. Pada Juni 2013, Jihad Islam bentrok dengan Hamas setelah polisi Hamas ditembak komandan Jihad Islam.
Pada kasus penculikan tiga remaja Israel, sebenarnya belum jelas siapa pelakunya karena banyaknya kelompok sempalan. Lagi pula, tempat kejadian ada di Tepi Barat, puluhan kilometer dari jalur Gaza. Juga, tersangkanya memegang paspor Israel. Namun, tuduhan dilemparkan kepada kelompok Hamas yang secara internasional mengalami pengucilan.
Di Tepi Barat pun, ada banyak faksi di dalam PLO—kini disebut pemerintah Otoritas Palestina. Dan, karena Perjanjian Oslo (1993 dan 1995) Otoritas Palestina tidak punya hak memiliki sayap militer. Mereka hanya punya polisi sipil yang hanya mempunyai persenjataan ringan. Mereka juga akan kerepotan melawan kelompok sempalan.
Di Israel pun ada banyak kelompok yang bertentangan, kelompok sayap kanan, kelompok tengah, kelompok sosialis, dan kelompok Yahudi ortodoks. Masing-masing mempunyai kepentingan sendiri. Dengan sistem pemerintahan parlementer, kelompok-kelompok itu harus membuat koalisi. Dan, hasilnya kebijakan pemerintahannya pun akan cenderung ke tengah. Sebab, masing-masing harus berkompromi.
Kita harus mengecam operasi militer Israel yang menjatuhkan korban sipil di Jalur Gaza. Namun, itu juga tidak mengabaikan bahwa selama ini masih ada ratusan roket tiap tahun yang ditargetkan ke wilayah Israel. Dan, kali ini roket-roket tersebut tidak dapat diidentifikasi asalnya karena maraknya penyelundupan di perbatasan yang kesulitan dikendalikan oleh pihak Hamas. Untuk mencapai perdamaian sejati, mereka harus kembali ke meja perundingan.
Masyarakat Indonesia harus tahu dengan jernih kondisi tersebut sehingga tidak terjebak memandang dengan cara pandang subjektif sendiri yang pada akhirnya menjadi emosional.
Satuharapan.com: Jadi?
Broto Wardoyo: Harus menyatukan pemahaman tentang konflik Palestina-Israel. Selama ini publik di Indonesia terdapat semacam “perpecahan” pendapat. Bahwa, jika seseorang mendukung Palestina harus membenci Israel dan jika sebaliknya berarti menentang kemerdekaan Palestina. Mencampuradukkan perjuangan rakyat Palestina yang mencari kemerdekaan sebagai perjuangan agama tertentu juga menjadikan masalah ini bias. (Sebagai gambaran 17 persen warga Israel adalah Muslim dan 10 persen warga Palestina adalah Kristen, Red).
Secara politik luar negeri, Indonesia menempatkan diri dengan tegas tidak mengakui negara yang melakukan kolonialisasi. Dalam perkembangannya Indonesia mendukung hasil perundingan di antara kedua entitas politik tersebut. Dan, mendukung solusi dua negara seperti yang disepakati keduanya dalam Perjanjian Oslo.
Sebenarnya, kebijakan Indonesia dalam isu Palestina konsisten. Sikap pro-Palestina dari Pemerintah Indonesia tidak terbantah. Dari sejak awal bergulirnya isu ini, Indonesia, melalui berbagai wahana, menyatakan dukungan pada kemerdekaan Palestina dan menjadikannya salah satu bahasan dalam Konferensi Asia Afrika maupun dalam peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika. Melalui PBB, Indonesia juga menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, termasuk bersuara keras dalam Dewan HAM PBB.
Satuharapan.com: Bagaimana dengan wacana salah satu kandidat Presiden RI, Joko Widodo yang akan membuka KBRI di Ramallah?
Broto Wardoyo: Dalam debat calon presiden yang kedua, pernyataan tersebut menunjukkan kejelian Jokowi dan tim suksesnya dalam mengukur dinamika politik domestik Indonesia. Pernyataan itu juga menunjukkan ketegasan sekaligus keleluasaan dalam politik luar negeri Indonesia di Timur Tengah.
Isu Palestina adalah salah satu isu internasional yang dapat menggerakkan sentimen publik Indonesia. Kedekatan Indonesia dengan Palestina dibangun dalam jalinan persaudaraan Muslim maupun Asia-Afrika.
Namun, permasalahan utama tidak terletak dalam konsistensi dukungan terhadap Palestina, tetapi pada kegagalan untuk menyelisik kepentingan nyata Indonesia. Politisasi isu Palestina tampaknya dibaca dengan baik oleh Joko Widodo dan tim suksesnya dengan menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai prioritas.
Satuharapan.com: Apakah selama ini yang dilakukan Indonesia kurang?
Broto Wardoyo: Tidak kurang, tetapi nanggung. Selama ini dukungan baru sebatas dukungan karitatif dan moral. Belum ada dukungan langsung untuk menyelesaikan persoalan utama Palestina—pembebasan rakyat dari pendudukan.
Pada 2010, di Gaza dengan dukungan publik Indonesia, kini berdiri Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Indonesia juga pernah mengundang para diplomat muda dan calon diplomat untuk dilatih di Indonesia. Pada konflik terakhir ini, pemerintah mengatakan akan memberi bantuan sejuta dolar—sekitar sebelas miliar rupiah lebih untuk rakyat Palestina.
Namun, dukungan-dukungan lain harus dilakukan melalui pihak ketiga, misalnya PBB. Padahal sebenarnya, kita bisa memberikan dukungan langsung. Indonesia bisa meletakkan diri pada posisi problem-solver. Artinya, Indonesia harus mulai merumuskan skema penyelesaian yang dianggap baik.
Indonesia mengakui solusi dua negara sebagai fondasi penyelesaian masalah ini. Ini berarti Indonesia menyepakati berdirinya negara Palestina dan Israel yang berdampingan secara damai. Dalam konteks ini, rumusan kesepakatan mengenai batas wilayah, status Jerusalem, dan hak pengungsi harus mulai diagendakan lebih serius, suatu hal yang dihindari Indonesia selama ini.
Sebab sejak Perjanjian Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina yang secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara, masih terdapat masalah utama yang tidak terpecahkan di antara keduanya.
Yaitu, status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan. Lalu, masalah keamanan Israel dan keamanan Palestina. Juga, hakikat masa depan negara Palestina dan nasib para pengungsi Palestina. Keduanya juga belum sepakat tentang kebijakan permukiman Pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu. Selain itu, ada juga perdebatan mengenai kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok Ratapan.
Indonesia memiliki keleluasan—karena memiliki ketegasan sikap—untuk memilih skema seperti apa yang tepat bagi Palestina dan sejalan dengan kepentingan Indonesia. Namun, perlu keberanian mendobrak batas-batas tabu yang menghambat.
Indonesia tak perlu ragu membuka kontak dengan Israel. Namun, kontak tidak berarti identik dengan penerimaan atau pengakuan terhadap keberadaan Israel, tetapi dalam kerangka menemukan cara terbaik menyelesaikan masalah Palestina-Israel. Selama ini, Indonesia cenderung antipati mengontak Israel karena khawatir dianggap mengakui keberadaan Israel.
Dukungan tegas terhadap Palestina juga menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai penyeimbang dalam proses negosiasi maupun penyelesaian melalui mekanisme lain yang dipilih kedua pihak yang bertikai.
Selama ini, kritik terbesar dalam proses penyelesaian kemerdekaan Palestina adalah tidak adanya mediator yang adil. Peran mediator yang secara tradisional dimainkan oleh Amerika Serikat cenderung menambah beban Palestina di meja perundingan. Ketegasan dukungan terhadap Palestina memberikan jarak yang jelas manakala Indonesia masuk di dalam penyelesaian masalah.
Indonesia seharusnya turut serta mengupayakan kemerdekaan Palestina dengan memperjelas kebijakan luar negeri Indonesia. Sudah terlalu lama Indonesia membiarkan Palestina berjuang sendiri. Padahal, kemerdekaan Palestina berkontribusi positif pada stabilitas domestik Indonesia.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...