Akademisi: Hasil Quick Count Tidak Boleh Berbeda
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Akademisi menyatakan hasil quick count pilpres 2014 tidak boleh berbeda antarlembaga survei.
Hal itu disampaikan dalam “Seruan Moral Ilmuwan Menyikapi Hasil Pemilihan Presiden Republik Indonesia” di Kampus UI Salemba hari Selasa (15/7). Seruan ini ditandatangani 77 akademisi lintas ilmu dari berbagai universitas.
Prof. Asep Saefuddin, pakar statistik dari IPB menyatakan hasil quick count pemilihan presiden tidak boleh berbeda antarlembaga survei, karena quick count menggunakan prinsip keacakan dan sampel populasi yang digunakan adalah sama, yaitu pemilihan presiden di Indonesia.
Ia menyinggung jika ada lembaga survei dengan hasil quick count yang berbeda, maka kredibilitas dan kompetensi lembaga survei harus dipertanyakan.
“Untuk menilai kredibilitas lembaga survei harus memperhatikan rekam jejak dan kompetensi tenaga pencatat hasil pemilu”, kata Prof. Asep.
“Hasil Quick Count di Indonesia menjadi bahan tertawaan di luar negeri, karena hasilnya berbeda”, kata Prof Hendra Gunawan pakar Matematika dari ITB. Hendra menyatakan kesalahan metodologis quick count tidak boleh terjadi, karena dalam quick count merupakan penghitungan sederhana dalam prinsip statistik.
Prof. Muhadjir Darwin, pakar kebijakan publik dari UGM mencurigai hasil quick count pilpres telah dipermainkan dan dimanipulasi. Jika hasil quick count benar maka hasil antarlembaga survei harus sama, karena menggunakan sampel populasi dan metodologis yang sama.
Ia menambahkan aparat penegak hukum harus menyelidiki lembaga survei yang mengadakan quick count karena meresahkan masyarakat.
“Manipulasi hasil quick count mengancam kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan,” kata Ade Armando pakar komunikasi dari UI. Ia mencurigai ada salah satu lembaga survei yang mengakali statistik dan dengan sengaja menghasilan kesimpulan yang salah.
Ade mencurigai lembaga survei yang tidak mau membuka metodologis dan data statistik yang digunakan, telah melakukan manipulasi. Ia menyarankan KPU memaksa lembaga survei membuka metodologi quick count yang digunakan kepada publik.
Karlina Supelli, dosen filsafat ilmu pengetahuan dari STF Driyarkara prihatin dengan polemik hasil quick count, Ilmu pengetahuan yang seharusnya berfungsi sebagai pemecahan masalah sekarang digunakan sebagai alat kekuasaan dalam bentuk manipulasi.
Ia juga mengingatkan profesi lembaga survei telah bersumpah kepada kepentingan publik.
Seruan moral ini merupakan bentuk keprihatinan dan kekhawatiran akademisi tentang polemik hasil quick count yang mengancam perpecahan bangsa.
Prof. Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi UI menegaskan akademisi tidak berpihak kepada kepentingan politik. Ia menyatakan seruan ini sebagai bukti akademisi tetap terjaga dalam kepentingan publik.
Seruan moral yang ditandatangani 77 akademisi ini menegaskan agar lembaga survei yang melakukan quick count melakukan uji publik terkait dengan metode dan sampel yang digunakan.
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...