Akomodir PNS, MK Dinilai Korbankan Anggota DPR
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan para wakil rakyat mengundurkan diri apabila mau maju menjadi kepala daerah tidak sesuai dengan alasan putusannya sendiri.
“Putusan MK yang mengubah ketentuan pasal 7 huruf s Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sehingga mengharuskan anggota DPR RI atau DPRD mengundurkan diri bila hendak maju menjadi calon kepala daerah, tidak sesuai dengan alasan putusannya sendiri,” ujar Miryam dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, Minggu (12/7).
Menurut dia, landasan pengajuan uji materi terhadap UU No. 8/2015 tentang Pilkada adalah karena ada pasal yang dianggap mengandung unsur diskriminasi, yaitu dengan diharuskannya Pegawai Negreri Sipil (PNS) memundurkan diri dari jabatannya sebelum maju jadi calon kepala daerah. Akan tetapi, dalam amar putusannya bukan menghadirkan solusi, malah menimbulkan diskriminasi baru.
“Dianulirnya pasal mengenai kewajiban PNS untuk mengundurkan diri dalam UU No. 8/2015 tentang Pilkada dengan dalih diskriminasi bisa saja diterima, meskipun harus menghilangkan semangat sesungguhnya yang hadir kenapa aturan itu dibuat,” ucap politisi Partai Hanura itu.
Namun, dia melanjutkan putusan tersebut menjadi sulit untuk dipahami. MK yang ingin memberikan solusi untuk PNS, seperti mengorbankan pihak lain, dengan mewajibkan anggota DPR RI atau DPRD mengundurkan diri bila ingin maju sebagai calon kepala daerah.
Bahkan, kata Miryam, kondisi ini bisa memunculkan keberpihakan atau sentimen kelembagaan yang ditunjukkan oleh MK dalam putusannya. Dalam hal ini, MK justru memunculkan diskriminasi baru bagi anggota DPR RI atau DPRD.
“Saya sangat menyayangkan peristiwa yang dimunculkan oleh MK ini. Seharusnya sebagai pengawal konstitusi, MK harus mampu melihat setiap perkara yang diajukan secara holistik agar putusan yang dikeluarkan tidak memunculkan permasalahan baru bagi publik,” tutur dia.
MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Mahkamah menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana itu, telah melanggar konstitusi dan mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.
Selain itu, MK juga mengubah ketentuan pasal 7 huruf s UU Pilkada. Pasal tersebut dianggap telah diskriminatif, karena tidak mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk berhenti dari jabatannya, melainkan cukup hanya memberitahukan pencalonannya kepada pimpinan masing-masing. Padahal, penyelenggara negara lain yakni pegawai negeri sipil harus mundur dari jabatannya.
Editor : Bayu Probo
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...