Aksi Demo IDI Tolak Prodi Dokter Layanan Primer
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis, mengatakan 2.000 dokter berunjuk rasa menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) pada hari senin (24/10) yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-66 IDI. Para dokter itu menolak program yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter karena dianggap mubazir. “Kami menggelar aksi damai,” kata Marsis di kantor PB IDI, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, (21/10), seperti dilansir situs idionline.org.
Ia mengatakan, aksi damai itu merupakan puncak dari berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyadarkan pemerintah mengenai persoalan dokter. Para dokter menggelar aksi damai dengan berkumpul di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, dan berjalan kaki menuju ke Istana Negara. Para dokter tidak berdemonstrasi di kantor Kementerian Kesehatan di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, karena khawatir memicu kemacetan lalu lintas.
Marsis mengatakan, mereka menolak program DLP karena hanya akan menghabiskan anggaran negara yang cukup tinggi. Dalam hitungan IDI, negara akan mengeluarkan biaya mencapai Rp 300 juta setiap tahun untuk satu orang dokter yang akan mengikuti program DLP. Ia mencatat ada 110.000 dokter yang membutuhkan peningkatan kompetensi. “Bayangkan ada 110.000 dokter yang harus disekolahkan,” katanya.
Karena menolak program DLP, IDI menawarkan Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) kepada pemerintah. Marsis mengatakan IDI telah mengupayakan advokasi agar pemerintah memahami konsep P2KB.
Menurut Marsis, program DLP bukanlah solusi dalam mengatasi persoalan pelayanan kesehatan. Ia menilai pemerintah akan lebih baik mengatur distribusi dokter agar merata di setiap daerah.
Sebelum aksi damai, PB IDI juga menggelar orasi di gedung sekretariat PB IDI. Pengurus IDI di daerah juga menghadiri acara tersebut.
Menurutnya, pihaknya sepakat memilih aksi damai sebagai peringatan karena isu DLP belum menemukan solusi.
"Kami ingin masyarakat tahu bahwa rencana pemerintah terkait DLP ini salah kaprah. Seakan-akan menambah beban bagi dokter namun tak memperbaiki kinerja," katanya di Jakarta, Jumat (21/10).
Terkait tuduhan pemerintah bahwa kualitas dokter umum rendah karena sering merujuk, Oetama menjelaskan bahwa banyak faktor yang menyebabkan banyaknya rujukan.
Pertama, obat dan alat kesehatan yang sering kali tidak tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Kedua, masih belum meratanya distribusi dokter yang membuat dokter tak punya banyak waktu untuk melakukan pemeriksaan.
"Kalau misalnya dokter diberi waktu kurang dari 10 menit untuk melakukan konsultasi karena terlalu banyak pasien menunggu, otomatis mereka merujuk kasus-kasus yang dikira tidak bisa ditangani," katanya.
Ketua Bidang Organisasi PB IDI, Mahesa Paramadina, mengatakan, unjuk rasa tersebut tidak akan mengganggu pelayanan dokter di seluruh Indonesia.
Menurutnya, aksi turun ke jalan hanya dilakukan oleh perwakilan seluruh IDI Daerah di Jakarta dengan menyasar Kementerian Hukum dan HAM.
“Kami pastikan bahwa dokter yang bertugas di ICU atau punya peran penting akan tetap melayani pasien," katanya.
Editor : Sotyati
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...