Aksi Penolakan Hotel dan Apartemen di Yogyakarta Atas Inisiatif Warga
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Keluarga Mahasiswa Sosiologi (KMS), Universitas Gajah Mada (UGM) menggelar diseminasi riset yang bertajuk “Aktivisme Warga: Aksi Penolakan Pembangunan Hotel dan Apartemen di Perkotaan Jogja”. Diseminasi yang diselenggarakan pada Kamis (10/12) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjosoemantri (PKKH) ini menghadirkan Derajad S. Widhyharto (Dosen Sosiologi UGM) selaku pemimpin riset, para mahasiswa periset, serta warga terdampak pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta.
Widhyharto membuka diseminasi riset melalui paparan tentang alasan dilalukannya riset tersebut. Menurut Widhyharto, perkotaan di Yogyakarta telah tumbuh menjadi “getho” dan kota “pagar”. Hal ini tak lepas dari pergeseran fragmentasi masyarakat dari sosial ke kapital. Salah satu produk kapital yang paling kentara adalah munculnya “komunitas berpagar” yang diindikasikan dengan sebuah permukiman lengkap dengan rumah berpagar, jalan satu pintu, portal, pos satpam, serta terpasangnya banyak CCTV di seputaran permukiman tersebut.
“Yogyakarta memiliki filosofi ‘memayu hayuning bawono’ yang berarti keselarasan hubungan antara manusia dengan alam. Filosofi ini telah mengalami pergeseran karena perubahan fragmentasi dari sosial ke kapital yang melahirkan komunitas berpagar,” kata Widhyharto.
Lebih lanjut Widhyharto mengungkapkan, melalui riset yang digawanginya bersama dengan beberapa mahasiswa Sosiologi UGM, terungkap beberapa fakta di lapangan seputar penolakan warga terhadap pembangunan hotel dan apartemen. Salah satu fakta yang muncul di lapangan adalah aksi penolakan warga tersebut secara umum merupakan inisiatif sendiri dari warga masyarakat.
“Dilihat dari alasan keterlibatan, 34 dari 49 responden dalam riset menyatakan bahwa mereka melibatkan diri dalam aksi penolakan ini karena inisiatif sendiri. Sementara responden sisanya menyatakan aksi penolakan tersebut karena desakan warga lain, direkrut, dan merasa ditunjuk,” ungkap Widhyharto.
Hal tersebut dikuatkan dengan fakta di lapangan yang menyebutkan bahwa pihak yang paling banyak membantu dalam aksi penolakan tersebut berasal dari warga di wilayah Rukun Tetangga (RT) setempat, bukan dari warga RT lain, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal ini menjadi bukti bahwa inisiatif warga untuk melakukan aksi tersebut berlandaskan atas sikap kebersamaan.
Sementara itu, lewat riset ini juga terkuak fakta tentang alasan terbesar para warga untuk melakukan aksi penolakan terhadap pembangunan hotel dan apartemen. Alasan yang menjadi isu utama penolakan adalah ancaman terhadap kelangkaan air bersih, kemudian kerusakan lingkungan, dan ketiadaan izin dari warga.
“Ternyata ancaman terhadap kelestarian air dan kerusakan lingkungan bisa mempersatukan masyarakat Yogyakarta yang sangat heterogen ini,” jelas Widhyharto.
Diseminasi riset yang dilakukan oleh Widhyharto bersama mahasiswa Sosiologi UGM ini menyasar lingkungan di seputaran dua hotel dan dua apartemen yang berada di Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta. Riset yang mendapatkan dari hibah Jurusan Sosiologi senilai Rp. 12 Juta ini menyasar tentang aktivisme warga terhadap perubahan, khususnya tentang pembangunan hotel dan aparteman yang berada di wilayah mereka.
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...