Aktivis: Irak Jangan Ulangi Balas Dendam Warga Sunni
SATUHARAPAN.COM - Kelompok paramiliter dan pasukan pemerintah Irak diperingatkan tidak mengulangi tindakan menyiksa dan sewenang-wenang, serta membunuh ribuan warga sipil yang melarikan diri dari wilayah yang dikuasai oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS /ISIS), kata Amnesty International.
Kelompok hak asasi yang berbasis di London itu mengatakan sering terjadi serangan balas dendam yang diarahkan pada warga Muslim Sunni yang dicurigai terlibat dengan ISIS. Hal itu tidak boleh diulang oleh pasukan Irak yang tengah bertempur di Mosul yang dikuasai jihadis ISIS.
"Setelah melarikan diri dari kengerian perang dan tirani ISIS, warga Muslim Sunni Arab di Irak menghadapi serangan balas dendam yang brutal dari milisi dan pasukan pemerintah. Mereka dihukum karena kejahatan yang dilakukan oleh kelompok (ISIS)," kata Philip Luther, penelitian dan Direktur Amnesty International Timur Tengah.
"Irak saat ini sedang menghadapi ancaman keamanan yang sangat nyata dan mematikan dari ISIS, tapi tidak ada pembenaran untuk melakukan eksekusi di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan atau penahanan sewenang-wenang,’’ kata pernyataan Amnesty, Selasa (18/10).
"Dalam pertempuran untuk merebut kembali kota Mosul, sangat penting bahwa pemerintah Irak mengambil langkah-langkah untuk memastikan pelanggaran mengerikan seperti ini tidak terjadi lagi."
Laporan Eksekusi
Klaim itu dibuat dalam sebuah laporan terbaru berdasarkan wawancara dengan lebih dari 470 mantan tahanan, saksi dan kerabat dari warga sipil yang tewas, ditahan atau hilang, serta pejabat dan aktivis.
Dalam laporan itu, mengutip sebuah insiden pada bulan Mei di mana setidaknya 12 laki-laki dan empat anak laki-laki dari suku Jumaila, yang melarikan diri Al-Sijir, utara Fallujah, dieksekusi setelah menyerahkan diri kepada laki-laki yang mengenakan seragam militer federal seragam polisi.
Pada bulan Juni, milisi menahan 1.300 pria dan anak laki-laki dari suku Mehemda yang melarikan diri Saqlawiya, barat laut Fallujah, dan banyak yang disiksa sebelum diserahkan kepada pemerintah daerah.
Mereka yang selamat mengatakan kepada Amnesty bahwa mereka dipukuli dan tidak diberi makanan dan air. Salah satu mengatakan dia diberitahu hal itu "untuk membayar pembantaian di Spincher".
Pada tahun 2014, sekitar 1.700 orang yang direkrut militer dari Kamp Speicher, dekat Tikrit, ditangkap dan dibunuh oleh ISIS dan militan sekutu mereka. Pada bulan Agustus, 36 orang digantung karena kejahatan itu.
Pembiaran oleh Pemerintah
Pemerintah Irak, yang terlibat dan lamban dalam menangani pelanggaran yang meluas telah memberi kontribusi pada iklim impunitas para pelaku. Pemerintah harus mengendalikan milisi dan menegaskan bahwa pelanggaran serius seperti itu tidak akan ditoleransi, kata Luther.
Kegagalan menegakkan hukum akan memungkinkan lingkaran setan kekerasan, penindasan dan ketidakadilan. Hal itu meningkatkan kekhawatiran serius tentang keamanan warga sipil masih di Mosul.
Senjata Kimia
Sementara itu, pasukan Sekutu anti ISIS di Mosul mengatakan mereka menduga kelompok ekstremis itu menggunakan senjata kimia untuk mempertahankan kota Mosul dari serangan yang akan mengusir mereka keluar.
Seorang pejabat mengatakan kepada Reuters bahwa pasukan AS telah menguympulkan fragmen shell ISIS yang menguji senjata kimia, karena kelompok tersebut telah diketahui menggunakan gas mustard pada masa lalu.
Para pejabat AS mengatakan dalam sebuah pernyataan yang sebelumnya tidak diungkapkan bahwa mereka telah mengkonfirmasi adanya material sulfur mustard pada munisi ISIS pada 5 Oktober
Sementara itu, pejabat militer Senior Irak, Letjen Thalib Shaghati, kepada wartawan di sebuah pangkalan militer pada hari Selasa mengatakan bahwa sekitar 6.000 jihadis ISIS saat ini di dalam kota Mosul. Namun tidak disebutkan berapa banyak dari mereka adalah jihadis asing.
Editor : Sabar Subekti
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...