Aktivis: RI Bangun 4.325 Km Jalan di Papua Fakta atau Hoax
MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM - Aktivis Hak Asasi Manusia Papua, Yan Christian Warinussy, mempertanyakan klaim pemerintah RI dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa belum lama ini, yang menyatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir, pemerintah telah membangun 4.325 kilometer jalan, 30 pelabuhan baru dan 7 bandara baru di Papua.
Klaim tersebut disampaikan saat menggunakan hak jawab terhadap tuduhan yang dilontarkan empat pemimpin negara-negara Pasifik dan Karibia pada sidang PBB tersebut tentang pelanggaran HAM di Papua dan perlunya hak menentukan nasib sendiri diberikan kepada rakyat Papua.
Yan Christian Warinussy yang merupakan direktur eksekutif Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menilai respons pemerintah dengan mengemukakan klaim tersebut sangat 'prematur' dan cenderung memalukan, tidak faktual.
Klaim yang dibacakan oleh diplomat Ainun Nuran itu, dia nilai tidak menggambarkan kenyataan sebenarnya. "Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka telah membangun jalan sepanjang 4.325 kilometer di Tanah Papua. Entah dimana letak jalan tersebut. Jalan tersebut melintas dari kota mana ke kota mana? Atau dari provinsi mana ke provinsi mana? Apakah ada menimbulkan dampak penting atau tidak bagi kehidupan sosial-budaya dan ekonomi Orang Asli Papua (OAP)?" tulis Yan Christian Warinussy dalam komentar tertulisnya yang diterima oleh satuharapan.com, Minggu (14/10).
"Kemudian dikatakan bahwa pemerintah Indonesia juga sudah membangun 30 pelabuhan baru dan 7 bandar udara baru di Tanah Papua. Tidak tahu benar atau tidak. Lalu dimana letak pelabuhan dan bandara-bandara dimaksud? Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah Indonesia kepada rakyat asli Papua," tulis dia.
Hal yang sama dia katakan terhadap klaim bahwa ada 2,8 juta penduduk asli Papua yang telah mendapat akses pelayanan kesehatan gratis.
"Kalau benar demikian, kenapa ada kasus busung lapar di Kabupaten Nduga, di daerah Koroway-Merauke, dan penyakit 'aneh' pada warga suku Mairasi di Kampung Kensi-Distrik Arguni Atas-Kabupaten Kaimana-Provinsi Papua Barat belum lama ini?" tanya dia.
"Juga kenapa sampai angka kematian bayi dan ibu di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) masih tinggi dan penyebaran HIV/AIDS sangat luas dan meningkat di Bumi Cenderawasih saat ini?Bahkan status penyakit malaria, tuberkolosis (TBC) sebagai penyebab kematian warga asli Papua masih sangat tinggi dan penyakit kaki gajah serta frambusia masih sangat tinggi di Tanah Papua?"
Ia menilai tanggapan Pemerintah RI tidak up to date dan tidak memiliki argumentasi hukum yang bisa dipertanggung-jawabkan serta tidak faktual karena tidak berbasis data yang benar.
"Sehingga ini akan 'memperkuat' perjuangan OAP dalam menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi sepanjang 50 tahun lebih di Tanah Papua akibat kekejaman negara Indonesia melalui aparat keamanannya dan tanpa penyelesaian secara hukum yang bermartabat," kata dia.
Yan Christian Warinussy yang merupakan peraih penghargaan internasional di bidang HAM John Humphrey Freedom Award tahun 2005 dari Kanada, mengimbau agar pemerintah RI mempertimbangkan untuk berdialog dengan rakyat Papua melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Menurut dia, ULMWP telah membuktikan diri berperan signifikan dalam membangun dialog konstruktif untuk mendapat dukungan berbagai negara di kawasan Pasifik, Karibia, Afrika dan dunia internasional pada umumnya.
Sudah Berkali-kali Dipertanyakan
Pertanyaan seperti yang dilontarkan Yan Christian Warinussy sebelumnya sudah disampaikan oleh jurnalis asal Papua, Victor Mambor, yang juga pemimpin redaksi Tabloid Jubi, sebuah media berbasis di Papua.
Lewat surat terbuka yang ditujukan kepada diplomat RI di PBB itu, Victor Mambor secara anekdotal menyindir sang diplomat yang oleh banyak netizen justru dielu-elukan sebagai pahlawan Indonesia di medan diplomasi.
"Oh ya, saya kagum sekali melihat gaya kamu menanggapi pidato empat negara Pasifik di sidang Majelis Umum PBB kemarin... Hoax, kata itu kamu gunakan di awal tanggapan yang kamu baca itu," tulis Victor Mambor di bagian awal suratnya.
"By the way Ainun, sudah lama saya tinggal di Papua. Kamu tahu itu kan? Tapi kok saya seperti tak pernah mendengar apa yang kamu sebut 'proses pembangunan masif dalam tiga tahun belakangan ini'?
"4.325 kilometer jalan? Dimana saja itu Ainan? Bisakah kamu menjelaskan pada saya 4.325 kilometer jalan itu terbentang dari mana hingga kemana dan kapan dibangun? Jika jalan itu ada, tak mungkin harga BBM bisa mencapai 50 ribu per liter dan harga semen diatas 1 juta per sak," tulis Victor Mambor dalam surat terbukanya yang dimuat oleh Tabloid Jubi.
"30 pelabuhan baru dan 7 airport? Bolehlah disebutkan pelabuhan dan airport baru dimana saja itu? 2,8 juta OAP dapat pelayanan kesehatan gratis? Jika 2,8 juta itu adalah penduduk OAP, termasuk saya, Ainan oh Ainan, mulutmu lincah membaca teks tapi pengetahuan dan pemahamanmu tentang Papua sangat minim," sindir Victor Mambor.
"Lalu, 360 ribu siswa dan mahasiswa asli Papua mendapatkan pendidikan gratis? Oh my God, please Ainan, datang ke Papua saja. Kamu bisa jadi panitia seleksi beasiswa. Lalu lihat sendiri, seberapa banyak Orang Asli Papua yang mendapatkan beasiswa dibandingkan Non Papua yang mengambil beasiswa yang menjadi hak Orang Asli Papua itu?"
Jauh sebelum Yan Warinussy dan Victor Mambor, ada mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, yang mempertanyakan hal yang sama. Februari lalu ia mengeritik pemberitaan yang masif yang mengatakan keberhasilan pembangunan infrastruktur di Papua yang menembus gunung dan membelah bukit.
"Coba tunjukkan mana, dan berapa kilo meter ruas jalan perioritas, dan mana ruas jalan strategis untuk konektivitas antar kota/kabupaten, provinsi dan jalan nasional selama 2015-2019?" tantang Natalius.
Sejauh yang ia amati, tidak ada ruas jalan baru yang dibangun kecuali Jalan Wamena-Nduga yang dibangun oleh TNI.
Ia bahkan mengatakan hampir semua jalan trans Papua rusak parah di zaman Pemerintahan Jokowi. Jalan Merauke -Boven Digul sebelum Jokowi memimpin hanya ditempuh sehari jalan darat, menurut dia, sekarang berhari-hari atau bahkan hampir seminggu.
"Dalam catatan kami pemerintah hanya baru membangun 231,27 kilometer, itupun hanya terlihat Wamena-Nduga," kata Natalius.
Kementerian PUPR Akui Baru Membangun 464,09 Km
Sebagai klarifikasi terhadap protes Natalius Pigai terkait kritik terhadap pemberitaan Kompas yang dinilai bombastis, pada 14 Februari lalu harian itu memuat penjelasan Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Arie Setiadi Moerwanto, yang secara khusus datang ke kantor Kompas.
Kepada Kompas dia mengakui bahwa selama dua tahun atau tahun 2015 dan 2016 jalan yang terbangun di dua provinsi di Papua adalah sepanjang 464,09 kilometer.
Rinciannya, 232,82 km pada 2015 dan 231,27 km pada 2016. Menurut Kompas, capaian pada 2016 tersebut membenarkan pernyataan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.
Arie Setiadi mengatakan pembangunan jalan Trans-Papua memang dilakukan secara bertahap setiap tahunnya. Untuk tahun 2017, ditargetkan terbangun sepanjang 143,35 km.
Diakuinya bahwa medan pembangunan jalan dengan total panjang 4.330,07 km sangat sulit karena harus menembus hutan dan gunung.
Bila mengacu pada data Bina Marga, selama 2015 jalan yang sudah tembus sepanjang 3.397,25 km, terdiri dari 2.792 km di Papua dan 1.058,76 km di Papua Barat. Namun, diakui bahwa jalan sepanjang itu tak serta merta diselesaikan dalam satu tahun melainkan akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak disebutkan sejak kapan, tetapi sangat jelas bahwa sudah dibangun sejak sebelum Presiden Joko Widodo.
Hal itu semakin jelas dengan membandingkan jalan yang sudah tembus antara tahun 2015 dengan 2016. Selisihnya hanya 454,68 km yang berarti dalam satu tahun tidak mencapai ribuan km dan dalam tiga tahun membangun 4.000 km lebih seperti klaim diplomat RI di sidang umum PBB.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...