Alwi Shihab: Buku Teks Pendidikan Agama Terlalu Kritis pada Agama Lain
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Dr. Alwi Shihab, senior fellow pada Institut Leimena dalam Webinar itu mengatakan bahwa dua dekade terakhir, terdapat dampak negatif yang sangat besar dari kurikulum pendidikan agama, yang menyebabkan meningkatnya intoleransi dan kekerasan agama.
Dia mengatakan hal itu dalam Webinar yang diselenggarakan Kementarian Agama dan Institut Leimena, hari Senin (18/1) yang bertema: Membangun saling memahami antara umat Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai keluarga Abrahamik melalui pendidikan.
Dia mengatakan pendidikan agama dan buku teks pendidikan di banyak negara telah mendapat sorotan, karena diduga menumbuhkan kebencian, dan mungkin memotivasi intoleransi dan bahkan terorisme. “Akibatnya, masalah pendidikan agama dengan cepat menjadi sorotan saat kita menyaksikan meningkatnya prasangka dan kebencian,” katanya.
Pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah, katanya, semestinya dan dapat dikembangkan untuk memberikan pencerahan kepada siswa tentang potensi luhur dalam tradisi agama-agama untuk menjadi bagian dari solusi dari setiap konflik, bukan menjadi bagian dari masalah.
Dia menjelaskan bahwa pendidikan merupakan faktor penting untuk mewujudkan saling pengertian dan hubungan yang harmonis antar manusia. Sebagai sebuah keluarga dari agama Abrahamik, masing-masing dari tiga agama menawarkan sumber daya yang kaya untuk menyembuhkan hubungan yang rusak, baik di tingkat nasional maupun internasional. “Meskipun demikian, kita masih menghadapi berbagai ancaman yang menghalangi kita untuk menjaga perdamaian di antara kepercayaan Abrahamik ini,” katanya.
Nilai Umum
Shihab mengatakan bahwa buku teks agama kita telah terlalu kritis terhadap agama Abrahamik lainnya, dan pada gilirannya menyebabkan pandangan negatif yang tidak perlu.
Kurikulum pendidikan agama, katanya, harusnya mencakup tidak hanya pengetahuan tentang keyakinan dasar, praktik dan sejarah iman, tetapi juga harus dibangun di atas nilai-nilai umum, sejarah, dan ajaran etika dari tiga tradisi agama itu.
Program tersebut secara bertahap akan mendahulukan nilai-nilai umum yang melampaui masalah perbedaan. Isi kurikulum harus mengintegrasikan sejarah panjang masing-masing agama Abrahamik yang mengarah pada pemahaman dan kerjasama yang lebih baik.
Dia mengatakan bahwa pendidikan agama seharusnay untuk pencerahan moral dan menumbuhkan potensi kemuliaan dari tradisi agama, sehingga menjadi solusi bagia berbagai masalah, bukanya malah membuat masalah.
Keadilan Kemuliaan dan Kemanan
Sementara itu, Sekjen Liga Dunia Muslim, Sheikh Dr. Muhammad bin Abdulkarim Al-Issa, mengatakan bahwa pendidikan agama harus bertanggung jawab untuk membangun moral yang baik.
Pendidikan agama, katanya, seharusnya bertujuan untuk membangun masyarakat beradab yang mencerminkan keadilan, kemuliaan, dan keamanan, kata Al-Issa yang juga anggota Dewan Ulama Senior, badan keagamaan tertinggi Arab Saudi.
Dia dikenal luas sebagai suara global tentang Islam moderat, dan berkomitmen untuk membawa kesadaran global pada pesan empati, pemahaman, dan kerja sama antar umat beragama.
Tahun lalu dia memimpin perwakilan agama Abrahamik (Muslim, Yahudi, dan Kristen) di Prancis untuk menandatangani kesepakatan untuk perdamaian dan solidaritas. Di bawah kepemimpinannya, tahun lalu Piagam Makkah diperkenalkan untuk memajukan prinsip-prinsip Islam moderat dan kemitraan antar agama. Piagam tersebut menekankan bahwa “Lembaga pendidikan bertanggung jawab membentuk perlindungan sosial pada komunitas Muslim. Mereka membutuhkan kurikulum dan alat pengajaran yang efektif. Tanggung jawabnya termasuk mempromosikan sentrisme dan moderasi, terutama di kalangan pemuda.
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...