AMAN: Pemerintah Jangan Persulit Masyarakat Adat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Pemerintah, jangan mempersulit masyarakat adat memperoleh hak mendapatkan kehidupan layak, “ kata pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan kepada pers di Jakarta, Rabu (11/11), mengatakan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah tentang masyarakat adat sering tumpang tindih dan menciptakan ketidakpastian.
"Persyaratan (penetapan wilayah adat) yang penting jelas, supaya warga setempat bisa bekerja dengan pasti," kata Abdon.
Meski Indonesia sudah lebih mengakui hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, kehidupan warga adat tetap memprihatinkan. Sebab, kata dia, hanya untuk diakui sebagai wilayah adat, sebuah daerah harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Namun dalam aturan-aturan yang ada, persyaratan ini cenderung bertentangan satu sama lain.
Seperti kalau merujuk pada pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014, tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat diputuskan oleh bupati/wali kota, berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan keputusan kepala daerah.
Namun pasal 67 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41, tentang Kehutanan Tahun 1999 menyebutkan, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Lain lagi jika melihat Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2015, yang menyebutkan tiga syarat agar sebuah wilayah diakui sebagai hutan adat.
Syaratnya, yaitu pertama, terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah.
Kedua, terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan. Ketiga, surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan wilayah adatnya sebagai hutan adat.
Setelah terpenuhi, kemudian diserahkan ke pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam prosesnya, sebelum diajukan ke pemerintah pusat, hal ini juga harus dibicarakan dengan DPRD.
AMAN condong agar Permendagri Nomor 52 Tahun 2014, yang digunakan pemerintah sebagai payung hukum masyarakat adat hanya memerlukan SK bupati atau wali kota.
"Kenapa harus dengan perda atau produk hukum daerah? proses politiknya menjadi sangat rumit dan mahal, belum lagi jika ada pilkada," kata Abdon Nababan.
Karena itu, dia pun berharap adanya satu undang-undang pasti, yang mengikat dan bisa melindungi masyarakat adat.
AMAN sedang mendorong penyelesaian dan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang masih dalam pembahasan di DPR RI. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...