Amerika Serikat dan Kotak Pandora Snowden
SATUHARAPAN.COM – Informasi yang dibocorkan oleh Edward Snowden tentang praktik penyadapan telepon dan surat eletronik (email) oleh Badan Kemanan Nasional (National Security Agency) Amerika Serikat menjadi semacam kotak pandora bagi negara itu. Bukan hanya hal itu telah menjadi skandal yang memalukan – apalagi dilakukan terhadap negara sekutu- juga membuka praktik yang hipokrit.
Amerika yang menjunjung tinggi hak-hak individu dan demokrasi, bagaimana bisa menggunakan cara-cara yang memalukan melalui penyadapan dan menggunakan perusahaan-perusahaan internet yang melanggar hak-hal itu. Hal-hal itu bahkan dengan mundah dipahami sebagai upaya yang justru tak lebih dari kepentingan egoistis AS ketimbang respek kepada negara lain dan berbagi nilai universal dan global tentang hak asasi manusia dan demokrasi.
Kotak pandora ini sebenarnya telah terkuak dalam banyak hal. Dalam ekonomi, praktik ekonomi liberal oleh AS, sekarang disebut juga neo-liberal, telah menjadi praktik yang melecehkan kemanusiaan. Banyak perusahaan di AS yang menjual produk dengan harga tinggi, tetapi diproduksi di Asia Tenggara dengan membayar buruh dengan upah rendah, bahkan sangat rendah. Super market di AS telah lama dibongkar oleh media mempraktikkan perdagangan dengan menjual barang yang diproduksi dengan memeras buruh.
Ekonomi liberal dipraktikkan tak lebih dari kolonialisme dalam ekonomi. Hal ini bahkan menjadi pembahasan yang serius dalam beberapa bulan menjelang sidang raya Dewan Gereja-gereja Dunia, dan dalam sidang yang berlangsung di Busan hingga awal November ini. Praktik ekonomi liberal dan pasar bebas justru menjadi penjajahan yang makin kuat dan melecehkan kemanusiaan dengan ideology mengejar pertumbuhan kuantitaif.
Akibatnya menjadi lebih jelas, abad ke-21 ini dunia masih menghadapi kemiskinan karena distribusi tak pernah ditata dengan respek pada manusia, kelaparan dan kematian karena kekurangan gizi, pelanggaran HAM masih terjadi bahkan oleh idustri multinasional – dalam hal ini banyak terkait dengan perusakan lingkungan yang dirasakan oleh warga lokal - bahkan perbudakan yang lebih buruk dari praktik di abad ke-17 masih terjadi.
Dalam hal ini AS memang bukan satu-satunya yang mempraktikkan abiguitas ini. Tetapi senjata hak asasi manusia dan demokrasi, sebagai nilai yang luhur, sekarang lebih banyak digunakan untuk membuka praktik ekonomi liberal yang digunakan untuk memenuhi ego AS sendiri.
Indonesia pada awal reformasi telah diterobos oleh serangan ini, antara lain melalui privatisasi, bahkan sumber air yang sangat dibutuhkan rakyat, tidak luput jadi sasaran. Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif berulang kali menyebutkan Indonesia telah menggadaikan perekonomian, bahkan kedaulatan negeri ini.
Masalah-masalah yang kita hadapi sekarang ini tak lepas dari intervensi itu, bahkan kita kecewa karena demokrasinya pun hanya formalitas. Hal ini menjadi jelas bahwa kepentingan AS sebatas membuka pasar bebas dan ekonomi liberal untuk pentingannya sendiri. Hal ini dipertegas dengan banyaknya kawasan tempat mencuci uang dari praktik kejahatan dan pelanggaran HAM, yang tetap aman dari sorotan negara-negara adidaya, termasuk AS. Pertemuan G-8 di Irlandia beberapa bulan lalu sempat membicarakan, dan sebatas membicarakan.
Dalam bidang keamanan, serangan AS ke Afganistan dan Irak , sampai hari ini tidak menunjukkan bahwa kawasan itu menjadi lebih demokratis, tidak menjadikan kawasan itu lebih menjunjung hak asasi manusia. Selama intervensi, bukankah pelanggaran Ham banyak terjadi? Yang banyak dipahami orang bahwa minyak dari kawasan itu lebih mudah masuk ke perdagangan yang dikendalikan kepentingan AS.
Demokrasi dan HAM memang menjadi roh bagi kehidupan negara dan pemerintahan AS. Itu untuk internal AS, tetapi praktik di luar itu adalah senjata untuk membuka pasar bebas dan ekonomi liberal di mana AS bisa mengambil keuntungan besar. Hal itu dipertegas dengan sikap AS yang tenang-tenang saja terhadap negara yang praktik penegakkan HAM-nya buruk, namun merupakan mitra dalam kepentingan ekonomi dan hegemoni terhadap negara lain.
Ambigu dan paradoks seperti ini – yang dipertegas dengan skandal penyadapan NSA – adalah realitas kegagalan AS dalam berbagi sistem nilai. Wajah AS tentang HAM dan demokrasi berbeda antara di dalam dan di luar AS. Bukankah hal ini juga merupakan wajah yang ditampilkan negara-negara kolonial di abad ke-19?
Edward Snowden memang kotak pandora bagi AS, dan isi kotak itu yang semakin banyak dibuka oleh testimoni Snowden akan menjadi bencana bagi AS, tapi jelas bukan bencana bagi dunia.
Kiat Menangani Anak Kejang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Konsultan emergensi dan rawat intensif anak dari Fakultas Kedokteran Univ...