AMKRI: Indonesia Harus Punya Daya Saing
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Umum di Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur tidak menampik pelemahan rupiah saat ini memberikan keuntungan tersendiri bagi usahanya. Namun, yang perlu diperhatikan dari pemerintah maupun eksportir lainnya adalah daya saing dan benchmarking.
“Memang kami mendapatkan keuntungan. Tapi kembali lagi jika dolar kembali pada kondisi normal di angka Rp 9000, berat. Karena sesungguhnya persoalan kita bukan banyak uang karena mata uang kita lagi ambruk. Tapi substansinya adalah di daya saing industri kami. Yang saya harus sampaikan adalah negara ini harus punya benchmarking untuk bisa meihat apakah industri kita pada posisi yang running atau tidak,” kata Sobur dalam diskusi Teras Kita dengan tema Melepas Tekanan Berat Ekonomi di Kampus MM UGM Jalan Sahardjo Tebet Jakarta Selatan, hari Sabtu (19/9).
Menurutnya, Indonesia harus mempunyai negara pembanding sebagai pengukur kegiatan industri misalnya seperti Eropa, Jepang, Tiongkok atau Vietnam. Namun, kata dia, untuk saat ini jangankan dengan Tiongkok, daya saing negara kita dengan Vietnam saja sudah kalah.
“Kami punya data industri mebel dan kerajinan kami itu ekspor kurang lebih USD 2 miliar, kerajinannya USD 200 juta jadi hanya USD 0,8 miliar. Vietnam tahun lalu 2014 USD 5,4 miliar. Padahal, dia hanya 1/6 dari kami. Bahan bakunya juga impor. Bahan baku kami yang lebih banyak melimpah. Hari ini, dia sudah mencapai USD 7,2 miliar. Sedangkan kita targetnya saja USD 2 miliar mungkin agak anjlok.”
Di awal pemerintahan Joko Widodo, dia mengaku sempat memberikan 10 poin usulan yang harus dilakukan dalam waktu satu tahun ini jika pemerintah tetap pada pendiriannya menggenjot ekspor hingga ke angka 300 persen dalam waktu lima tahun.
Salah satunya adalah menentukan upah buruh. Menurutnya, penentuan upah buruh ini harus dilakukan secara sentralistik atau di pusat. Jadi, pemerintah daerah harus menginduk kepada aturan yang sudah ditetapkan di pusat dan jangan dijadikan komoditas politik.
“Jangan pada saat pilkada saja buruh diberi ruang setelah itu ditinggalkan,” kata dia.
Kemudian, langkah yang lain adalah kebijakan yang mendukung pelaku dunia usaha. Dia mencontohkan bahwa saat ini ada salah satu pengusaha asal Vietnam yang berniat untuk memindahkan perusahaannya dari Indonesia ke Vietnam.
“Dia menyatakan akan pindah karena setelah dicek benchmarkingnya dengan Vietnam. Ada kurang lebih delapan instrumen kebijakan yg menguntungkan sehingga secara keseluruhan dia punya daya saing 30 persen lebih efisien. Artinya, jika pengusaha di seluruh dunia datang ke Indonesia dan melihat (benchmarking) Vietnam, dia akan pilih Vietnam.”
Dia mengusulkan agar pemerintah dapat menjamin bahan baku yang kuat untuk suplai industri melalui penghapusan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) di hilir. Menurutnya, sistem tersebut tidak cocok diterapkan di industri hilir dan ini sarat dengan kolusi kebijakan.
“Kami punya bahan baku kuat, banyak, tapi diatur oleh pemerintah melalui apa yang disebut SVLKdi hilir. Padahal cukup di hulu aturannya. Tapi kan pemain di hulu sedikit hanya 150 perusahaan duitnya sedikit dong karena ini mengandung biaya. Satu sertifikat seharga Rp 40 juta. Kami 5054 industri berarti ada Rp 200 miliar per tahun dibebankanlah kepada industri mebel. Ini masalah namanya kolusi kebijakan.”
Dia menilai bahwa kebijakan itu dirasa tidak perlu karena melihat negara lain tidak memerlukan SVLK meskipun pemerintah sendiri memiliki maksud untuk melindungi kualitas produk itu agar layak ekspor.
Pengusaha yang memproduksi radio cawang itu juga berpendapat bahwa jika pemerintah serius mendukung dunia usaha khususnya industri mebel maka target ekspor 300 persen dalam waktu liima tahun itu akan tercapai karena sarat muatan lokal atau tidak bergantung kepada bahan baku impor.
Editor : Eben E. Siadari
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...