Anak-anak GKI Yasmin 11 Tahun Tumbuh dalam Diskriminasi
BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Ivan Kristiadi, 19 tahun, memandang fotonya pada 2012, ketika dia masih siswa SD, bernyanyi di depan gerejanya yang disegel.
“Saya ngelihat ini kayak merinding gitu. Dari sekecil ini sampai detik ini kayak (kasusnya) nggak berhenti-berhenti aja,” katanya saat ditemui pertengahan Agustus lalu.
GKI Yasmin ditutup oleh Pemkot Bogor sejak 2008 atas desakan kelompok tertentu. Saat itu Ivan menyanyikan Gereja Tua dan Lilin-lilin Kecil. Dia mengisahkan pemahamannya ketika masih kecil.
“Ngertinya sih gara-gara banyak orang yang nggak suka aja. Jadi istilahnya kita disegel sama Pemkot Bogor. Nggak tahu disegelnya kenapa, dibilangnya karena IMB. Yang saya tahu, saya tuh anak kelas 6 SD, IMB itu izin mendirikan bangunan,” katanya.
Pihak gereja sudah memenangkan kasus ini di Mahkamah Agung pada 2012, namun Pemda belum membukanya. Lebih dari 7 tahun, jemaat GKI Yasmin memindahkan ibadah ke seberang Istana Merdeka sambil menuntut hak-hak mereka.
Selama itu pula belasan anak Yasmin tumbuh besar tanpa gereja. Masa kecil Ivan dihabiskan dengan ibadah di seberang Istana atau rumah warga. Ketika remaja, ia bahkan melalui proses katekisasi dengan menumpang di gereja lain.
“Katekisasi adalah sebuah proses penting menuju proses pendewasaan diri dan iman. Kalau gua nggak dewasa secara iman, nggak dewasa secara diri di GKI ini dan nggak bisa, ya salah siapa? Salah pemerintah. Padahal, sudah ada seluruh turunan-turunanya. Kenapa nggak dilaksanakan sih, susah banget dilaksanakan?” katanya.
Anak-Anak Yasmin Alami Diskriminasi Sejak Dini
Kisah serupa dialami Matthew Edward alias Edo, 18 tahun, yang saat itu masih siswa SD. Edo pernah dua kali menulis surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meminta pemerintah membuka gerejanya. Edo tidak tumbuh seperti anak-anak Kristen pada umumnya, kata ibu Edo, Renata Anggraeni.
“Untuk usia dia, idealnya kan sebaiknya bahagia. Terus bisa menjalankan ibadah dengan sehat dan normal. Tapi dia kan enggak. Dia diusir-usir, didorong-dorong,” katanya.
Ketika usia 13 tahun, Edo pernah didorong oleh kelompok massa ketika berusaha merayakan Natal di gerejanya. Saat itu, gerejanya dikepung pengunjuk rasa, sementara Edo menggunakan handycam untuk merekam situasi. Dia menjadi target kemarahan massa.
“Untuk hal-hal yang buat dia sedih, dia nggak pernah nangis. Tapi hari itu dia nangis. Dia menangis di depan orang banyak. Itu sampai terguncang sekali. Sampai harus didampingi, karena Edo sampai… aku baru sekali itu lihat dia seperti itu. Habis itu dia jadi pendiam,” kata Renata ketika ditemui pertengahan Agustus.
Seperti Ivan, Edo harus melewati proses katekisasi di gereja lain ketika gerejanya sendiri terlunta-lunta.
KPAI Prihatin dengan Anak-Anak Yasmin
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan prihatin dengan kondisi anak-anak GKI Yasmin. Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan anak-anak yang mengalami diskriminasi dapat terganggu perkembangannya.
“Anak ini biasanya akan emosional, akan menjadi lebih terlihat murung atau sedih. Bisa jadi untuk anak-anak tertentu sulit tidur, bermimpi buruk, memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah, atau bahkan ingin melukai diri sendiri,” katanya kepada VOA, yanng dilansir Voaindonesia.com, pada Rabu (28/8)
Penelitian Howard University tahun 2009 menunjukkan, diskriminasi bisa jadi sumber trauma kronis yang berdampak negatif pada perkembangan mental dan fisik anak.
Namun, yang paling terlihat dalam diri Ivan dan Edo adalah sikap apatis terhadap pemerintah.
Tahun demi tahun berselang, kini keduanya telah jadi mahasiswa. Ivan mengambil jurusan teknik sipil di sebuah universitas di Depok. Mahasiswa tingkat tiga ini berharap bisa membantu renovasi gerejanya kelak.
“Makanya gue pengen ngambil sesuatu yang (berguna). Oke, teknik sipil, mungkin. Bisa ngebangun mungkin nanti. Renovasi segala macem. Tapi gimana mau ngebangun? Orang masih diginiin (disegel)” katanya.
Sementara Edo baru memulai statusnya sebagai mahasiswa jurusan hukum di Bali. Pengalaman masa kecilnya telah membentuk cita-citanya.
“Sebenarnya nggak ingin jadi lawyer sih. Cuma kalau ditanya, seandainya suatu saat jadi lawyer atau hakim atau gimana, ya akan berbuat sebisanya memperjuangkan hak yang harusnya sudah didapatkan dari dulu,” kata Edo.
Harapan dan doa Edo bagi GKI Yasmin masih sama. “Ya, cepat-cepat beres. Apa yang diperjuangkan akan didapatkan gitu lho. Entah cepat atau lambat, harus dan pasti,” katanya.
Belum ada kepastian kapan GKI Yasmin akan dibuka. Satu yang pasti, kasus ini telah berdampak besar kepada anak-anak yang mengalaminya. (Voaindonesia.com)
Rusia Mengemasi Peralatan Militer di Pangkalan di Suriah
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Rusia tampaknya mengemasi peralatan militer di pangkalan udara militer di ...