Anak-anak Paparkan Mind Map Pendidikan ke Mendikbud
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Siswa-siswa dari 15 wilayah di Indonesia, memaparkan buah pikirannya tentang rencana aksi pendidikan, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan.
Mereka—15 anak— tergabung dalam Aliansi Aksi 2015 yang terdiri dari anak-anak berprestasi dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Anak-anak ini lahir pada 2000. Tahun tersebut merupakan tahun di mana pemimpin-pemimpin dunia menetapkan millennium development goals (MDGs) sebagai arah pembangunan dunia hingga saat ini.
Pada tahun ini, para pemimpin-pemimpin dunia akan mendeklarasikan kembali rencana pembangunan berkelanjutan. Dan anak-anak ini menyampaikan masukan kepada pemimpin-pemimpin di negeri ini atas kebutuhan mereka, terutama dalam dunia pendidikan.
Mendikbud menerima anak-anak tersebut di kantor Kemendikbud, Rabu (14/01) sore. Ia sangat mengapresiasi pikiran anak-anak tersebut. Masih dalam usia yang sangat belia, 15 tahun, mereka sudah bisa menyampaikan aspirasinya melalui peta pikiran yang terstruktur dengan baik. “Saya ingin karya anak-anak ini dibingkai di kantor ini. Kalian tulis nama dan asal kalian,” katanya.
Ada lima poin penting, yang disampaikan anak-anak ini kepada Mendikbud. Pertama tentang masih tingginya angka putus sekolah siswa Indonesia. Dari analisis mereka, salah satu penyebabnya adalah masalah ekonomi. “Orang tua tidak bisa membiayai, dan anak terpaksa bekerja,” demikian disampaikan Dewa Gede, siswa dari Bali bersama dua temannya. Ia mengatakan, jarak sekolah yang jauh dari tempat tinggal siswa, kekerasan seksual, dan kriminalitas juga menjadi pemicu terjadinya putus sekolah. Bahkan untuk kasus kriminalitas, terkadang siswa dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mungkin akan mencemari nama baik sekolah.
Sebagai solusi dari masalah pertama ini, Dewa mengatakan, sosialisasi kepada orang tua menjadi penting. Dukungan pembenahan sistem Beasiswa Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) pun akan turut berkontribusi mengurangi angka putus sekolah.
“Di beberapa wilayah anak-anak tidak tahu kegunaan dana-dana bantuan tersebut, atau sekolah langsung memotong uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pribadi siswa ini untuk membayar SPP,” katanya.
Dan sebagai sesama siswa, Dewa mengatakan ia dan teman-temannya bisa menjadi relawan untuk membantu agar siswa yang putus sekolah tetap menerima pelajaran. Salah satunya dengan membentuk forum membantu anak-anak putus sekolah.
Masalah kedua, mereka memaparkan tentang pembangunan sekolah yang kurang merata. Pembangunan fasilitas di daerah akan lambat karena daerah tersebut sulit diakses. Ketiga, sekolah yang tidak aman. Pengaruh teman sebaya yang sangat kental bisa menjadi lingkungan yang buruk bagi siswa. Selain sesama teman, contoh buruk dari guru juga sangat memengaruhi anak. “Misalnya rokok. Di sekolah tertulis dilarang merokok, tapi gurunya sendiri merokok dan tidak peduli jika siswanya merokok,” katanya.
Masalah keempat dan kelima yang mereka sampaikan adalah rendahnya kehadiran guru dan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kehadiran guru rendah. Faktor minat dan suasana kelas yang tidak kondusif menjadi penyebabnya.
“Para guru ini, terutama di daerah terpencil, mereka perlu biaya banyak untuk pulang pergi ke sekolah, kadang juga penguasaan materinya juga rendah,” kata Adel siswa dari Aceh yang melanjutkan paparan Dewa.
Adel mengatakan, akibat dari kondisi tersebut siswa juga tidak mendapat ilmu yang baik. Untuk itu ia berharap, agar kompetensi guru terus ditingkatkan dan tidak hanya diapresiasi tapi juga diberi sanksi, jika mereka tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Untuk diskriminasi ABK, Adel mengatakan, banyak faktor yang memengaruhi diskriminasi terhadap ABK. Mulai dari sekolah umum yang enggan menerima ABK, kurangnya penerimaan orang tua terhadap kondisi anaknya, kurang kompetennya guru yang mengajar ABK, hingga fasilitas yang mahal dan langka. Adel berharap, pemerintah serius menangani masalah diskriminasi ABK ini.
Menjawab harapan Adel, Menteri Anies mengatakan, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap ABK harus dimulai dari cara pandang. “Kita harus menyadari bahwa tidak ada anak yang tidak normal. Semua normal. Hanya saja ada yang berkebutuhan khusus, dan ada yang berkebutuhan umum,” katanya.
Mendikbud sangat mengapresiasi keberanian dan kemampuan anak-anak ini dalam memetakan masalah dan solusinya. Ia berpesan agar anak-anak ini terus mengembangkan kemampuannya untuk menggunakan mind map dalam setiap permasalahan. “Sekali kalian bisa membuat mind map, maka bisa digunakan untuk seumur hidup,” katanya. (kemdiknas.go.id)
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...