Anak Kecil Dikawinkan, Pengadilan Agama Diminta Tegas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Laporan tahunan Mahkamah Agung Indonesia menyebutkan sepanjang tahun 2018, Pengadilan Agama di berbagai daerah mengizinkan belasan ribu anak menikah dengan menerbitkan putusan dispensasi kawin sebanyak 13.215 putusan. Draf Peraturan MA kini sedang digodok untuk memperketat izin dispensasi tersebut.
Indonesia saat ini masih berstatus darurat perkawinan anak. Hasil penelitian UNICEF menempatkan Indonesia di urutan ke-7 dari negara yang memiliki tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia, dan ke-2 tertinggi di ASEAN setelah Kamboja.
Salah satu wilayah dengan jumlah kasus perkawinan anak tinggi adalah Sulawesi Selatan. Adat dan budaya setempat dituding sebagai penyebab utama.
Hal itu disampaikan Kartini, koordinator pencegahan perkawinan anak dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Sulawesi Selatan.
"Di masyarakat, Sulsel ada adat mahar uang panai. Itu uang dari mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan untuk membiayai keperluan pesta pernikahan. Jadi bukan mas kawin. Mas kawin lain lagi," katanya, yang dilansir abc.net.au, pada Rabu (10/4).
"Semakin besar uang panai menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Uang panai sekarang paling rendah Rp50 juta. Kalau calon mempelai perempuannya sarjana, minimal Rp100 juta," katanya.
Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan
Kartini menambahkan, adat uang panai ini membuat banyak orangtua tak lagi mementingkan pendidikan anak perempuannya. Jika secara fisik sudah siap, biasanya mereka langsung dinikahkan dengan calon yang dianggap memiliki status sosial tinggi.
Selain itu, menurut dia, anak kadang juga menjadi korban keinginan orangtua atau keluarga, untuk mengamankan harta warisan keluarga.
"Jadi bukan cuma terjadi antara anak dari keluarga miskin dengan keluarga kaya. Tapi juga antara anak dari keluarga kaya dengan keluarga kaya,” kata Kartini.
"Ada kasus dimana anak terpaksa putus sekolah di tingkat SMA karena orangtuanya menjodohkan dengan pria agar warisan keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain," katanya.
Bahkan, katanya, di beberapa kasus orangtua mengambil keuntungan dari uang panai tersebut.
"Pernah dalam kasus yang kami dampingi ada anak perempuan usia 11 tahun dikawinkan dengan pria berusia 48 tahun. Uang panai digunakan orangtuanya membayar utang. Si anak sampai perlu dikonseling dengan psikiater dan kami ungsikan ke rumah aman kami," kata Kartini.
Pedoman Sidang Perkara Perkawinan Anak
Menyikapi kondisi ini, Kartini menilai pentingnya kampanye kesadaran risiko dan dampak dari perkawinan anak.
Selain itu dari jalur hukum, Pengadilan Agama dinilai perlu mengutamakan kepentingan anak, dengan memperketat aturan persidangan permohonan dispensasi perkawinan anak.
"Dalam menangani perkara dispensasi kawin, hakim Pengadilan Agama biasanya berpedoman pada hukum Syariah," katanya.
"Orangtua sering kali beralasan demi menghindari zina, anak mereka sudah terlalu dekat satu sama lain, dan ada juga yang beralasan anak mereka sudah hamil duluan. Hakim dalam posisi sulit," kata Kartini.
"Kami ingin hakim memperketat prosedur ini dengan meminta orangtua menyertakan bukti surat keterangan dokter kalau kehamilan dijadikan alasan," katanya.
Merujuk pada UU Perkawinan, syarat minimal usia seseorang menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
Dan bila ada calon mempelai yang berusia kurang dari usia tersebut, mereka harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan "dispensasi kawin".
Dalam laporan tahunan Mahkamah Agung disebutkan, sepanjang tahun 2018 Pengadilan Agama di berbagai daerah telah menerbitkan 13.215 putusan dispensasi kawin.
Menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Rita Pranawati, lembaganya bersama sejumlah organisasi perlindungan anak dan perempuan sejak awal tahun ini menginisiasi peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Upaya ini didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2).
PERMA ini dimaksudkan mengatur pedoman rujukan bagi Pengadilan Agama, dalam menyidangkan permohonan dispensasi kawin.
"PERMA ini akan jadi rujukan kalau hakim menyidangkan perkara perkawinan anak. Misalnya, jangan menanyakan anak mau menikah atau tidak di depan orangtuanya. Karena siapa tahu anak itu cuma dipaksa kawin," kata Rita.
"Dalam hal ini pihak Mahkamah Agung sangat responsif," katanya.
Namun, Rita menilai kunci pencegahan perkawinan anak tetap di tangan orangtua dan pemuka masyarakat. Pasalnya, kasus perkawinan anak yang dilakukan secara hukum sangat kecil, karena umumnya dilakukan di luar jalur hukum alias pernikahan siri.
"Meski angkanya kecil kurang dari 5 persen, tapi mekanisme dispensasi kawin menjadi salah satu penjaga agar tidak terjadinya perkawinan anak," katanya.
"Jadi kalau tidak ada alasan yang signifikan sekali untuk menikah, ya tidak usah dikawinkan, atau ditolak permohonan dispensasi kawinnya," kata Rita Pranawati.
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...