Anak Muda Cegah Perkawinan Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Deputi I Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sutriyatmi mengatakan, lembaganya bekerja sama dengan anak-anak muda di 21 provinsi untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Menurut Sutriyatmi, salah satu provinsi yang gerakan anak mudanya cukup intensif adalah Jawa Barat. Adapun bentuk kegiatannya berupa kampanye bahaya pernikahan anak, konseling anak muda, serta pengawasan dan pendataan perkawinan anak. Pesan pencegahan perkawinan anak juga disampaikan melalui beberapa cara seperti pembuatan mural dan pentas drama.
Sedangkan untuk provinsi lain seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur masih terbatas pada kampanye bahaya perkawinan anak.
"Kalau di Jawa Barat yang intensif memang di lima kabupaten kota yaitu Cirebon, Indramayu, Kabupaten Bandung, Bogor, dan Sukabumi. Tapi kabupaten yang ada KPI-nya juga melakukan hal yang sama, melakukan beberapa kegiatan," kata Sutriyatmi di Jakarta, Selasa (23/7).
Sutriyatmi menambahkan, anak-anak muda di Jawa Barat juga melakukan advokasi kebijakan di tingkat lokal. Mereka mendorong penerbitan surat edaran kepala desa atau peraturan desa untuk meningkatkan usia perkawinan dari di bawah 18 tahun menjadi 19 tahun. Dalam catatan KPI, sudah ada 15 surat edaran kepala desa dari lima kabupaten di Jawa Barat tentang peningkatan usia perkawinan.
Ia menambahkan lembaganya juga menggandeng tokoh-tokoh agama untuk turut mencegah perkawinan anak. Sebab, faktor agama saat ini masih menjadi salah satu pendorong terjadinya perkawinan anak.
"Seperti yang di Garut, masuk ke pesantren bersama jaringan Rahima. Tadi yang disampaikan KPI Bogor, salah satu alasan menikah dini adalah agama. Siapa yang bisa meng-counter isu itu, salah satunya adalah orang-orang dari pesantren," katanya.
Strategi Kampanye Anak Muda
Pegiat Jakaringan Sinema, Deviana F Bayhaqi, mengatakan kelompoknya membuat film pendek sebagai kampanye untuk mencegah perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak. Menurutnya, ada sekitar 30 anak dari tiga wilayah di Jakarta yang tergabung dalam komunitas ini. Tiga wilayah tersebut adalah Jatinegara, Kamal Muara, dan Penjaringan yang disingkat menjadi Jakaringan.
"Jadi kita itu mengangkat isu yang sedang trending seperti, bullying atau cyber bullying atau apa pun tentang isu remaja dan anak lewat film atau poster digital," kata Deviana.
Deviana menambahkan, kelompoknya biasanya kumpul sebulan sekali untuk membicarakan pembuatan film. Total sudah ada enam film pendek produksi Jakaringan Sinema yang sudah diunggah ke Youtube, dan sudah ditonton hampir 2.000 kali setiap filmnya.
Hal yang sama juga dilakukan Ramdan Setiawan, pegiat Komunitas Desa Banjarsari Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ramdan mengaku tergugah mengampanyekan pencegahan perkawinan anak karena teman sekolahnya menjadi korban.
"Kebetulan itu teman sendiri, sekarang sudah cerai. Sekarang kerja, anaknya sama orang tuanya. Jadi kasihan. Teman sekolah kebetulan saat itu teman SMP, waktu itu tidak melanjutkan sekolah, padahal usianya baru 18 tahun," kata Ramdan.
Ramdan menjelaskan, kegiatan yang dilakukan komunitasnya yaitu membuat rumah baca dan rumah belajar Alquran. Di samping itu, komunitas ini melakukan sosialisasi dampak perkawinan anak kepada para remaja melalui media sosial dan grup pesan online.
Berdasar data Badan Pusat Statistik yang dirilis April 2019, persentase perkawinan anak (di bawah atau 16 tahun) naik menjadi 15,66 persen pada 2018 dibandingkan tahun 2017 sebesar 14,18 persen. Tiga provinsi dengan jumlah pernikahan anak tertinggi yaitu Kalimantan Selatan sebanyak 22,77 persen, Jawa Barat (20,93 persen), dan Jawa Timur (20,73 persen ). (Voaindonesia.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...