Analis Israel Beberkan Skenario Bubarnya Kerajaan Arab Saudi
TEL AVIV, SATUHARAPAN.COM - Seorang peneliti pada Institute for National Security Studies, Tel Aviv University, membeberkan skenario suram tentang kemungkinan runtuhnya Kerajaan Arab Saudi. Ironisnya, negara-negara adidaya di dunia belum melakukan antisipasi terhadap hal ini.
Yoel Guzansky, peneliti itu, adalah mantan penasihat isu-isu strategis untuk Dewan Keamanan Nasional Israel, dan menuliskan pendapatnya di Washington Times, 8 Desember 2016. Dalam tulisannya berjudul Saudi Arabia's Uncertainties, ia mengemukakan bahwa apa yang dihadapi Arab Saudi saat ini bukan sekadar perlambatan ekonomi tetapi juga ketegangan politik. Kombinasi antara kesulitan keuangan pemerintah dan persaingan politik elit kerajaan, menurut dia, dapat membawa Kerajaan Arab Saudi kepada kesulitan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pekan lalu memang ada kabar gembira, ketika negara-negara anggota OPEC sepakat untuk memangkas produksi minyak dengan harapan dapat mengangkat harga minyak dunia. Namun, menurut Guzansky, keputusan itu jauh dari cukup untuk membantu Arab Saudi.
Ia mengatakan masalah ekonomi Arab Saudi jauh lebih parah dari yang terlihat selama ini. Bahkan seandainya harga minyak mencapai US$ 50 perbarel, Saudi masih akan menghadapi defisit besar dan membutuhkan lebih banyak utang. Pemotongan subsidi yang lebih banyak juga diperlukan, yang akan membawa luka pada rakyatnya yang selama ini terbiasa hidup mudah.
Guzansky mengatakan sebelum ini Arab Saudi telah berhasil lolos dari 'Musim Semi Arab.' Mereka berhasil dengan menggunakan cadangan keuntungan minyak dan kepemimpinan yang kuat dan berpengalaman. Kini situasinya berbeda, dan karena itu bisa mengarah ke ketidakstabilan politik.
Akibat ketidakpastian ekonomi, pemerintah Arab Saudi sudah melakukan pemotongan subsidi dan dan pengurangan gaji. Pendapatan masyarakat turun sementara biaya hidup naik. Frustrasi rakyat juga meninggi. Baru-baru ini, pekerja konstruksi membakar bus saat berdemonstrasi di kota suci Mekkah karena mereka belum dibayar di berbulan-bulan.
Pada saat yang sama ketidakpastian politik juga merebak. Ini terjadi dipicu oleh persaingan antara Putra Mahkota Muhammad bin Nayef, dan Wakil Putra Mahkota, Muhammad bin Salman, yang masih muda dan tidak berpengalaman serta ceroboh. Sejumlah pejabat AS khawatir tentang kemungkinan kolapsnya rezim ini.
Pangeran-pangeran senior Arab Saudi disebut telah menyerukan perubahan rezim, mengekspresikan ketidakpercayaan mereka kepada pangeran yang berusia 31 tahun itu. Kerajaan Saudi yang dulu dikenal bijaksana dan berhati-hati, kini juga sedang mengobarkan perang atas Yaman, negara tetangga mereka, sebuah perang yang dianggap tak masuk akal dan boros.
Sementara itu dari sisi keamanan internal yang menonjol adalah fenomena ISIS yang berulang kali telah menunjukkan bahwa kelompok ekstrem itu memiliki kehadiran yang kuat di dalam kerajaan Arab Saudi.
Dengan latar belakang ini, Guzansky menyuguhkan kemungkinan tiga skenario jatuhnya rezim Arab Saudi.
Skenario pertama, kemungkinan kudeta tenang oleh pihak-pihak yang bersaing di dalam klan al-Saud. Namun, menurut dia,
Kerajaan kemungkinan bisa menjaga stabilitas dan melanjutkan kelangsungan kerajaan melalui suatu proses. Oleh karena itu, kata dia, skenario ini agak lebih mungkin daripada skenario lain yang lebih berat.
Skenario kedua, adalah pengambilalihan kekuasaan oleh elemen-elemen ISIS. Para pemuda-pemuda pengangguran, setelah beberapa dekade indoktrinasi Islam fundamentalis, mungkin tidak akan merangkul nilai-nilai demokrasi liberal jika berhadapan dengan kesulitan. Dan ini akan merupakan skenario paling berbahaya, karena mereka mungkin akan menggunakan sumber-daya kerajaan untuk melawan kepentingan Barat.
Skenario ketiga adalah terjadinya kerusuhan yang ditujukan ke berbagai target yang berbeda, yang dipicu oleh kekuatan yang lebih liberal. Ini dapat menyebabkan kekacauan dan pecahnya negara itu menjadi propinsi-propinsi, seperti Najad, Hijaz, dan provinsi timur di mana sebagian besar minyak dan sebagian besar populasi Islam Syiah bermukim.
Di bagian akhir tulisannya, Guzansky mengatakan adalah terlalu optimistik bila menganggap Arab Saudi memiliki sumber daya dan kesiapan yang diperlukan untuk menghadapi era pasca minyak. Arab Saudi memang kini memiliki apa yang disebut sebagai Visi 2030. Tetapi masalah mendesak yang dihadapi rakyat adalah bagaimana menjalani hidup sehari-hari.
Karena itu, ia menganjurkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya meneliti lebih seksama tentang stabilitas Arab Saudi dan membuat rencana kontingensi mengantisipasi bila kepentingannya dihadapkan pada risiko.
Lima Rafflesia Tuan Mudae Mekar di Agam
LUBUK BASUNG, SATUHARAPAN.COM - Resor Konservasi Wilayah II Maninjau Balai Konservasi Sumber Daya Al...