Analisis LIPI tentang Gempa dan Tsunami di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) lalu. Gempa tersebut menyebabkan gelombang tsunami yang terjadi di pantai Palu Donggala, dan pantai Mamuju. Catatan sementara dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada Selasa (2/10) menyebutkan jumlah korban 1.374 orang korban jiwa dan 113 orang hilang.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyampaikan analisis gempa dan tsunami beserta rekomendasi mitigasi untuk pengurangan resiko bencana di Indonesia pada Selasa (2/10) di Media Center, LIPI, Jakarta, dilansir situs lipi.go.id.
"Wilayah Indonesia berada di kawasan lempeng bumi yang terus bergerak yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Itu salah satu alasan mengapa Indonesia rawan gempa bumi,” kata peneliti senior gempa dan tsunami Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Danny Hilman.
Menurut Danny, ada dua kerusakan bangunan akibat gempa. “Pertama adalah kerusakan tidak langsung karena tanah pendukung, kedua adalah kerusakan langsung struktur akibat gaya inersia atau kelembaman selama goyangan gempa.”
Danny mengatakan, gempa Palu terjadi karena pergerakan segmen di sesar Palu Koro, sesar aktif yang membelah Sulawesi menjadi dua bagian barat dan timur.
“Palu berada di atas sesar ini menjadikan sebagai daerah yang sangat rawan gempa,” katanya.
Terkait adanya pencairan tanah atau likuifaksi setelah gempa Palu, Danny menjelaskan hal tersebut pernah terjadi di kejadian gempa lain.
“Likuifasi tersebut karena keadaan tanah yang tidak padat. Akibat guncangan gempa, air yang berada di dalam tanah pun naik dan bercampur dengan tanah."
Peneliti gempa Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Mudrik Rahmawan Daryono mengatakan, gempa bumi tidak terjadi secara acak, tetapi ada pola tertentu.
”Gempa akibat pergerakan sesar aktif akan cenderung terjadi di lokasi yang sama, ada kurun waktu tertentu atau secara awam disebut ulang tahun gempa bumi yang dihitung sesuai jangka waktu geologis yang tentu berbeda dengan waktu manusia,” kata Mudrik.
Peneliti geofisika kelautan dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Nugroho Dwi Hananto mengatakan, tsunami pascagempa Palu yang disebabkan komponen gerakan vertikal di sesar yang berada di dasar laut .
“Gempa di sesar mendatar cenderung tidak menimbulkan tsunami. Diduga ada gerakan vertikal di sesar yang ada di dasar laut serta bentuk dasar laut Teluk Palu yang curam,” kata Nugroho.
Ia juga mengatakan, ada kemungkinan longsor di tebing bawah laut yang runtuh akibat gempa sehingga berakibat tsunami. “Kondisi geomorfologi yang curam dam tipe batu yang tidak terkonsolidasi mungkinkan terjadinya longsor tebing laut," kata Nugroho.
Ia mengatakan, kawasan Teluk Palu hingga Donggala mempunyai bentuk mirip kanal tertutup. “Akibatnya jika ada massa air laut datang, akan terus terkumpul dan semakin besar kekuatannya.”
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto meminta agar pembagian potensi kerawanan bencana di Indonesia disesuaikan karakteristik daerah.
“Nantinya strategi mitigasi pengurangan resiko bencana bisa disesuaikan dgn karakteristik daerahnya,” kata Eko.
Eko Yulianto, mengatakan bahwa Indonesia memiliki peta zonasi gempa. Sulawesi Tengah, khususnya di jalur Patahan Palu Koro, masuk dalam kategori merah sampai cokelat, dengan nilai percepatan gempa bumi pada batuan dasar kisaran 0,7 sampai lebih dari 1,2 g (gravitasi m/2det). Ini artinya kawasan tersebut amat rawan gempa bumi.
Satu langkah paling konkret yang bisa direkomendasikan adalah tidak diperkenankan untuk membangun rumah, bahkan bangunan vital seperti rumah sakit di atas patahan aktif Palu Koro.
"Bangunan di atas patahan kemungkinan besar akan hancur, setidaknya berikan jarak 20 meter dari patahan untuk dikosongkan dari segala bentuk bangunan," Kata Mudrik Daryono, Peneliti Gempa LIPI.
Dalam dua pekan sejak Selasa (2/10), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan fokus pada proses rekonstruksi di Palu, Donggala, dan Sigi, tiga kabupaten dengan dampak terparah di Sulawesi Tengah.
Lebih penting lagi, menurut Eko Yulianto, masyarakat harus memiliki tanggung jawab untuk keselamatan diri sendiri.
"Pemerintah bisa mendorong untuk membuat aturan tertentu di daerah yang dilalui patahan," kata Eko Yulianto.
Kemudian, setelah identifikasi risiko dilakukan, pemerintah didorong untuk membuat anggaran mitigasi dan penanggulangan bencana di Indonesia yang memadai.
Pihaknya juga sedang menganalisis struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, agar investasi pengurangan bencana bisa dimasukkan di skema anggaran tiap dinas di daerah.
“Harapannya program pengurangan resiko bencana dapat dijalankan dengan mekanisme mudah dan murah. Seperti jika bisa masuk ke Dinas Agama tiap daerah, kita bisa menjadikan program pengurangan bencana sebagai bagian praktek sosial keagamaan,” kata Eko.
Eko juga mengingatkan, sampai saat ini belum ada satu pun teknologi di dunia yang mampu secara akurat dan presisi memprediksi kapan datangnya bencana, terutama gempa bumi. “Jika ada pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan terjadi gempa bumi beserta kekuatan magnitudonya, bisa dipastikan itu adalah hoaks,” kata Eko.
Menurut Eko, waktu geologis gempa bumi bisa jadi lebih cepat 50 tahun bisa jadi lebih lambat ratusan tahun. “Kita sampai saat ini tidak dapat tahu di segmen mana lagi sesar aktif akan bergerak. Yang bisa kita lakukan adalah waspada dan siaga.”
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...