Analisis: Pertaruhan Akhir Prabowo?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Akhirnya, pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 pun berakhir, setelah sempat diwarnai oleh langkah dramatis capres Prabowo Subianto beberapa jam sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional.
Melalui konferensi pers yang dibacakan Prabowo siang kemarin (22/7) di Rumah Polonia, capres no urut 1 itu menyatakan bahwa dirinya menarik diri dari proses Pilpres 2014. "Kami sebagai pengemban mandat suara rakyat, akan menggunakan hak konstitusional kami, yaitu menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum dan menarik dari proses yang sedang berlangsung," kata Prabowo dalam konferensi persnya itu. Pernyataan itu disusul oleh walkout (WO) para saksi kubu Prabowo-Hatta dari ruang sidang KPU.
Tentu saja, pernyataan pers Prabowo dan WO kubunya dari ruang sidang KPU menggegerkan masyarakat. Ini merupakan langkah yang sama sekali tidak terduga, dan belum pernah ada preseden sebelumnya dalam sejarah politik Indonesia. Tidak heran jika langkah itu menimbulkan banyak tanda tanya: apa yang sebenarnya diinginkan Prabowo?
Benar, itu merupakan hak konstitusionalnya. Tetapi apakah bijak? Apakah ini semacam exit strategy lain Prabowo ketimbang mengakui kekalahannya, mengingat hasil perhitungan suara resmi (official count) KPU menunjukkan keunggulan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sudah tidak terkejar lagi? Atau ada motif lain, mengingat pertaruhannya sangat besar dan nyaris seperti langkah “bunuh diri politik”. Ada beberapa alasannya.
Pertama, mundurnya kubu Prabowo-Hatta dari proses Pilpres, seperti disebut para pengamat hukum tata negara, sebenarnya tidak akan mempengaruhi sah atau tidaknya keputusan KPU. "Sahnya hasil Pilpres ada pada penetapan KPU dan mekanisme pasca Pilpres tersebut, yakni keberatan atas hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Refly Harunm, pengamat hukum tata negara, kepada KONTAN. Ia menilai, langkah tersebut hanya sebagai bentuk kekecewaan karena kalah dalam Pilpres. "Tak akan ada dampak apapun dari penolakan atau mundurnya Prabowo dari Pilpres kali ini," katanya.
Soal senada disebutkan Amir Syamsuddin, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), yang mengkritik sikap Prabowo yang dinilainya mendua. Pada satu sisi, Prabowo mengaku tunduk pada konstitusi, tapi di sisi lain sebagai capres dia justru mengingkarinya dengan menolak proses pelaksanaan Pilpres di KPU. "Saya melihat ada sesuatu yang ambigu. Menyatakan tunduk kepada konstitusi, tapi mengingkari ketentuan yang mengatur Pilpres di UU," jelas Amir seperti dilaporkan oleh detiknews.com.
Bahkan lebih jauh lagi, kedua, dengan menarik diri dari proses Pilpres, maka kubu Prabowo-Hatta pun terancam akan kehilangan haknya sebagai peserta Pilpres untuk dapat menggugat hasil KPU lewat jalur MK. Padahal jalur gugatan ke MK merupakan opsi satu-satunya yang tersedia sebelumnya bila kubu Prabowo-Hatta merasa proses Pilpres berjalan tidak adil, “cacat hukum” dan penuh praktik-pratik curang yang massif, seperti yang selama ini dituduhkan mereka.
Mungkin opsi melakukan gugatan lewat MK sudah tidak lagi dilihat sebagai pilihan, mengingat jarak perolehan suara antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta cukup besar. Dari hasil penetapan rekapitulasi suara resmi oleh KPU semalam, Jokowi-JK meraup 53,15 persen sementara Prabowo-Hatta 46,85 persen dari suara sah Pilpres 2014. Itu artinya selisih 6,30 persen – lebih besar ketimbang hasil hitung cepat yang rata-rata menyebut selisih sekitar 5 persen. Dengan selisih 6,30 persen itu, bisa dibilang kemenangan Jokowi-JK akan sulit dibantah.
Belum lagi soal ketiga: “misteri” ketidakhadiran Hatta Rajasa maupun para petinggi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dalam konferensi pers yang dilakukan Prabowo. Banyak spekulasi berkembang bahwa “koalisi permanen” Merah Putih ternyata tidak tahan lama, seperti sudah diperkirakan sebelumnya.
Konon Hatta Rajasa dan para petinggi PAN (Partai Amanat Nasional) berjanji akan memberikan konferensi pers tersendiri, seusai KPU mengeluarkan ketetapan resmi kemarin. Namun, sampai tulisan ini dibuat, belum ada kepastian soal janji konferensi pers itu. Walau begitu Drajad Wibowo, Wakil Ketua Umum PAN, menyebut bahwa Hatta Rajasa sendiri akan mengucapkan selamat atas kemenangan pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla.
Maka absah jika orang mempertanyakan motivasi di balik manuver politik terakhir Prabowo. Bukankah dengan langkah itu ia sedang “berjudi” dan mempertaruhkan seluruh karier politiknya? Bahkan mendorong kontestasi politik yang ada sekarang ke tepi jurang berbahaya, yakni mempertaruhkan masa depan mekanisme dan prosedur demokrasi itu sendiri?
Dari kubu Prabowo sendiri, tidak ada kejelasan mengenai langkah politik apa yang akan diambil. Baik Aburizal Bakrie maupun Mahendradata dari tim hukum Prabowo-Hatta hanya menegaskan tidak akan mengambil jalan gugatan ke MK. Sementara Anis Matta dari PKS hanya menyebut bahwa mereka akan memilih jalan politik. “Kami memilih jalan politik karena kami menilai masalahnya bukan masalah hukum saja, melainkan masalah kepercayaan,” kata Anis (Kompas, 23/7). “Kami tidak percaya pada penyelenggaraan pemilu.”
Tetapi seperti apa wujud “jalan politik” itu, sungguh sangat sulit dibayangkan. Dalam prosedur demokrasi yang beradab, penyelesaian benturan kepentingan politik lazimnya akan mengambil jalan hukum. Di sini, dalam kasus sengketa pemilu, maka satu-satunya alternatif adalah melalui jalur gugatan ke MK. Kecuali jika mau memilih jalan ekstra-konstitusional yang dapat mendorong ketegangan sosial-politik ke titik didih yang sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa.
Di sini dibutuhkan sikap tegas dan kenegarawanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk sungguh-sungguh mendukung sepenuhnya keputusan KPU dan menyelesaikan social distrust antar-kelompok. Sinyal ke arah itu tampaknya sudah diberikan. Tidak lama setelah KPU merampungkan proses rekapitulasi suara nasional Presiden SBY menelepon untuk mengucapkan selamat kepada pasangan Jokowi-JK. “Pak SBY sudah menghubungi saya dan mengucapkan selamat,” kata Jokowi.
Maka kini tugas selanjutnya menanti Presiden SBY maupun Presiden terpilih Jokowi untuk menjembatani jurang perbedaan maupun perasaan ketidakpercayaan sosial (social distrust) yang disebut Anis Matta. Ini sangat diperlukan, agar proses-proses politik tidak berkembang liar sampai Oktober nanti, saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih resmi dilantik.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...