Analisis: Risiko Keberpihakan Gereja
SATUHARAPAN.COM – Hitung mundur ke 9 Juli 2014, ketika seluruh komponen negara yang bernama Indonesia bersiap “mempertaruhkan “ masa depan dalam sebuah pemilihan presiden, semakin mendekat. Hiruk pikuk di sekitar peristiwa itu menyelimuti semua aspek kehidupan di Indonesia. Dari anak kecil sampai usia senja berbicara, berdiskusi, melihat dan mereka-reka tentang hal ini. Dari yang sekadar ikut-ikutan, keberpihakan, pembelaan dan bahkan sampai terlibat perseteruan dalam menjaga dan membela apa yang hendak mereka pilih. Di sana-sini persaingan semakin terlihat vulgar, bahkan ketika tubuh hanya melakukan gesture tertentu, maka bisa jadi adalah simbol keberpihakan.
Keberpihakan, pada beberapa hal adalah hal yang biasa, hal yang lumrah karena manusia selalu diperhadapkan pada banyak pilihan dan harus memilih. Ketika ada minimal dua pilihan dan kemudian memilih satu, maka pastilah tidak akan memilih yang lainnya. Namun perlu dicatat dan disadari bahwa sesuatu yang lumrah atau biasa, pada beberapa hal biasa menjadi sebuah bahaya. Demikian halnya ketika keberpihakan ini menyentuh kehidupan gereja.
Tidak bisa disangkal bahwa pemilihan presiden 9 juli nanti juga telah menarik gereja-gereja (juga warga jemaat dan pendetanya) terseret ke pusaran keberpihakan. Dari yang sebatas dalam angan, percakapan dan yang paling ekstrem beredarnya sebuah surat pernyataan dan himbauan untuk memilih pilihan tertentu. Dari yang sebatas obrolan biasa sampai ke penampilan dalam identitas tertentu, semisal sebuah profile pada sebuah media sosial tertetu.
Bagi gereja berpihak bukanlah sebuah dosa. Keberpihakan pastilah dilatarbelakangi banyak hal. Dari kedekatan emosional, kedekatan material dan juga kecawa atau sakit hati di masa lampau. Namun ketika keberpihakan bisa menjadi sebuah sumber konflik, bahkan sumber perseteruan, masihkah ini menjadi sesuatu yang biasa atau lumrah? Dan ketika gereja justru yang menjadi pemicunya, masihkah itu bisa dinamakan gereja lagi?
Bangsa ini masih belum terlalu dewasa di dalam mendayung perahu kehidupan bernama demokrasi. Masih belum terlalu berpengalaman, sehingg amasih sangat rentan di dalam menjalankan perahu demokrasi ini, dan karenanya pemimpin sangat dibutuhkan di dalam menunjukan arah yang tepat menuju kehidupan bersama yang lebih baik dan mensejahterakan.
Karena belum dewasa berdemokrasi, maka sering demokrasi hanya dijalankan dengan konsep sangat sederhana. Demokrasi adalah pesta memilih. Saya akan memilih yang : Memberi saya uang, yang menjanjikan saya kemudahan-kemudahan kehidupan, yang menguntungkan saya, yang tidak menyakiti saya, dan yang tidak bisa membuat saya atau kami senang dan gembira.
Gereja (dan juga pendetanya) boleh berpihak, tidak ada yang melarang. Itu adalah hak yang dijamin dalam demokrasi. Namun ketika berpihak itu brutal dan karenanya tidak dewasa maka yang terjadi adalah percekcokan, perseteruan, petengkaran dan sekat relasi semakin meninggi. Keberpihakan sering membutakan mata bening nurani kehidupan, dan melupakan tugas utama kehidupan. Gereja bertugas menyampaikan, mewartakan, menghadirkan warta suacita, warta damai sejahtera. Jika gereja terjebak pada keberpihakan brutal, maka pada saat tertentu keberpihakan ini bisa menghadirkan peperangan.
Semestinya gereja mampu hadir dalam kehidupan dalam terang kebenaran. Mengarahkan pada sebuah proses negosiasi kehidupan, bukan mengekor dalam pilihan. Gereja (dan pendetanya) semestinya mampu memetakan,menggambarkan, menganalisa lalu kemudian menyuguhkan hasilnya kepada warga untuk diolah dan dipilah untuk kemudian dipilih.
Gereja tidak boleh menjebakkan diri pada pembelaan pada satu pilihan dan karena itu menyerang yang lain. Menghakimi yang lain dengan terbuka. Ingatlah bahwa belum semua warga negara ini dewasa dan berpengalaman berdemokrasi. Ingatlah bahwa keberpihakan terbuka akan menyeret warga yang tidak tahu menahu ke dalam kegalauan demokrasi.
Gereja mestinya mampu memberikan gambaran utuh tentang apa itu demokrasi, apa itu pilihan dan konsekuensinya, baik jangka panjang maupun pendek. Gereja harus mampu menjadi lumbung pengetahuan dalam azaz kenetralan yang utuh dan sempurna. Kegagalan gereja memahami diri dalam sebuah panggung kehidupan bersama dalam sebuah negara ketika demokrasi sedang berpesta, akan menyeret gereja ke perang terbuka, dimulai dari opini tentang keberpihakannya, lalu vonis tidak baik ke pihak lain pastilah akan bisa berujung pada perang terbuka yang sesungguhnya. Ketika hal ini terjadi, maka gagalah gereja memainkan peran yang diperintahkanNya untuk menghadirkan damai, menebar sukacita bersama.
Akhinya, seperti tema catatan saya, Awas, Resiko Keberpihakan Gereja! Artinya, ada suatu bahaya jika keberpihakan gereja vulgar dalam panggung kehidupan ini. Keberpihakan gereja haruslah pada titik kebenaran,dan bukan pada pihak yang lain. Mengarahkan warga gereja ke pilihan (pasangan tertentu ) bukanlah pilihan yang bijak, namun mengarahkan warga memilih dengan banyak pertimbangan yang rasional akan lebih menarik dan mendewasakan.
Memasang simbol atau logo pilihan tertentu juga bukan pilihan arif, karena sekali lagi, bangsa ini belum terlalu dewasa berdemokrasi. Tampilan pada identitas media sosial tertentu pada seorang pemimpin spiritual, akan menyeret warga sederhana pada pilihan tanpa pertimbangan nurani dan pengalaman. Begitu juga ketika menyuarakan himbauan tertentu dengan pendekatan kekuasaan juga merupakan pilihan yang menyesatkan, apalagi ketika pilihan itu berlatar pemberian material tertentu.
Awas, resiko keberpihakan gereja, adalah sebuah alarm, sebuah peringatan akan adanya bahaya yang mengintai di balik keadaan itu.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...